Pancasila Menjamin Kebebasan Beragama dan Menjalankan Ritual Keagamaan

Ujung_Pena, Umat Islam merupakan ummatan washatan yang menghargai perbedaan keyakinan, keberagamaan yang lain. Hal ini terbukti dalam perjalanan historis dakwah Nabi Muhammad Saw saat berada di Madinah dan kembali ke Mekkah. Jaminan Keberagamaan yang dilaksanakan oleh Kanjeng Nabi saat Fathu Makkah terhadap kaum kafir qurays menunjukkan adiluhungnya sikap toleransi Islam. 

      Kebebasan beragama merupakan persoalan pelik di kalangan umat Islam saat di tengah gejolak sectarian dan ego keyakinan keberagamaan yang kian tinggi. Mengakui kebebasan beragama bukan merupakan ‘kekalahan’, akan tetapi mengalah kepada realitas yang plural. Sikap menghargai dan adanya kebebasan beragama merupakan pintu masuk untuk bersifat inklusif atas kelompok lain. 
       Keberagamaan seperti ini bisa kita gambarkan sebagai seuatu berasal dan berangkat dari problem diri. Karena kebebasan dan keberagamaan orang lain kerap dijadikan pembenaran terhadap ketidak penerimaan terhadap perbedaan. Dalam psikoanalisis ini disebut, hasrat dan fantasi yang tidak tersalurkan. Pandangan psikoanalisis ini merujuk kepada problem Odypus Complex, seorang anak berusaha melihat sang bapak sebagai orang yang ditiru, akan tetapi hasrat tersebut tidak terpenuhi, karena selalu adnya “nilai lebih”. Kekosongan tersebut kembali kepada subjek (individu) lalu menjadi sebuah upaya untuk “menyingkirkan” orang tuanya.

       Pada dasarnya tidak ada pengekangan dalam Islam untuk terkait persoalan kebebasan beragama. Problemnya, seringkali kebebasan beragama dianggap sebagai persoalan kebebasan seluas-luasnya. Karena pemahaman keliru tersebut, kebebasan diartikan sebagai kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Pandangan ini tentu tidak tepat. Karena konsep kebebasan dalam sejarah pemikiran Islam sejatinya merupakan adalah bagian dari dinamika pemikiran Islam itu sendiri. 

      Dalam sejarah pemikiran teologi Islam, keyakinan mengenai kebebasan dianut oleh kelompok mu’tazilah. Kebebasan ini berangkat dari konsep free will seorang manusia. Dalam pandangan Mu’tazilah, kebebasan menjadi pilihan bagi setiap orang. Seperti halnya Qadiriyah. Hanya saja kebebasan tersebut tidak bersifat absolut, kebebasan tetap dibatasi dengan tanggung jawab individunya.

      Kebebasan tidak terkonstitusikan oleh kata tanggun gjawab. Kebebasan menjadi dan berarti negatif. Artinya kebebasan orang beragama orang masih diyakini seakan mengancam keyakinan individu. 

        Di sinilah, bagaimana makna kebebasan bekerja dengan pengalihan doktrin beragama. Selalu dibedakan dalam arti makna lain. Hal ini kemudian yang dicoba tafsirkan dalam melihat kebebasan beragama bagi orang lain. Bahwa setiap orang bebas untuk menentukan pilihan hidupnya bahkan untuk memilih agamanya. Sebenarnya bagaimana pandangan al-Quran sendiri terkait hal tersebut?

       Di dalam al-Quran sendiri terdapat beberapa ayat menjelaskan kebebasan beragama. Ayat-ayatnya di antaranya:
لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي
“Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. 2:256 )

لكم دينكم ولي دين
“bagimu agamamu, bagiku agamaku”. (QS. Al-Kafirun:6)



      Ibnu ‘Asyur (1973) menjelaskan bahwa ayat QS. 2:256 sebagai ketentuan tidak bolehnya memaksa seseorang untuk masuk agama Islam. Pandangan ini dijelaskan secara cermat olehIbnu ‘Asyur. Ibnu ‘Asyur berkata dalam kitab al-Tahrir wa al- Tanwir:










“Penolakan untuk memaksa diartikan sebagai larangan. Artinya penolakan terhadap seluruh faktor yang memaksa dalam hukum Islam. Dengan kata lain, ia menyiratkan jangan kamu paksa siapa pun untuk mengikuti (masuk) Islam. Ini adalah dalil paling jelas tidak sahnya memaksa masuk dalam agama dengan segala bentuk macamnya. Karena persoalan keimanan itu didasarkan kepada pengambilan argument, dan lahir dari paradigma dan pilihannya.” (Ibnu ‘Asyur, al- Tahrirwa al-Tanwir, Dar Tunisiah, II, 42)

         Ibnu ‘Asyur juga menambahkan bahwa dakwah Islam tidak boleh dilandaskan pada paksaan (al-jabar) dan memaksa dan membenci (al-jabar).

     Bagi kelompok tertentu ini bertentangan dengan perintah untuk memerangi orang kafir. Pertentangan dengan hadis nabi Muhammad, “Umirtu an Uqatila an-Nas”. Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa hadis ini hanya dipraktekkan pada masa Nabi Muhammad Saw. ketika orang kafir Qurays gencar memerangi orangorang Islam. Konsep Jihad dalam arti ini menemukan konteksnya pada al-Difa’ (mempertahankan) baik pada agama, jiwa, akal, harta, bahkan kehormatan. Defenisi al-Difa’ harus diartikan dalam menjaga kemaslahatan bersama, yang tidak mengenal batas agama tertentu. 

        Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa agama Islam sebagai agama yang mengekang seseorang dalam beragama. Karena agama pada dasarnya adalah soal keimanan. Dan keimanan hanya bisa ditentukan lewat hati, pengalaman dan pilihan seseorang.

        Begitupun dalam konteks Indonesia. Pancasila sebagai dasar bangsa Indonesia, ia lahir dari perjalanan panjang dan merupakan fakta historis dan sosiologis bagi keragaman masyarakatnya. Karena jika Pancasila menjadi milik agama tertentu, maka Pancasila tak lebih menjadi negara agama. 

          Pada poin inilah, Pancasila menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap orang. Bukan karena Pancasila itu melebihi dan melampaui agama itu sendiri. Pandangan ini sejatinya tidak bertentangan dengan Islam, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Asyur di atas. Karena dalam Islam sendiri tidak adanya paksaan untuk masuk agama Islam. kebebasan untuk setiap orang memilih agamanya diartikan sebagai bersikap toleran terhadap orang yang berbeda agama.


copyright : Buku Saku Fikih Nasionalisme, Penulis Yunal Isra, dkk (el-bukhari institute)

Comments