Dakwah Anti Terorisme dan Paradoks Umat Islam Indonesia
Ujung_Pena - Meski aksi terorisme bukan melulu karena faktor teologis, tapi dengan
mengamati serangkaian kejadiannya, baik di luar maupun di dalam negeri salah
satunya bertali temali dengan agama (Islam). Belakangan setiap kali ada bom
meledak, maka ISIS mengakui keterlibatannya. Kasus kerusuhan di Markas Korps
Brimob Polri (7/5), bom bunuh diri di beberapa tempat di Surabaya (13-14/5)
juga berkaitan dengan ISIS yang argumentasinya selalu berlandaskan
ajaran-ajaran agama.
Kendati berlandaskan dalil-dalil agama Islam, namun mayoritas umat Islam
sendiri menolak dan mengutuk aksi terorisme. Dalam arti lain, mayoritas umat
Islam tidak membenarkan kalau al-Quran dan hadis melegitimasi aksi teroris.
Di sini umat Islam harus segera melihat dan merumuskan kembali ajaran
agamanya, terutama bagian-bagian yang oleh sebagian orang dipahami menjadi
salah satu sumber perintah berbuat teror.
Definisi terorisme meski tidak tunggal, namun pada intinya yaitu tindak
kekerasan untuk membuat seseorang atau kelompok (masyarakat) merasa
ketakutan. Kekerasan di sini bentuknya bermacam-macam, mulai dari ancaman,
penyerangan, pembunuhan, penembakan, hingga pengeboman.
Dalam bahasa Arab terorisme diterjemahkan dengan irhabiyah, derivasi
dari kata rahiba yarhabu rahbatan ruhban. Menurut Ibnu Mandhur dalam
kamus Lisan al-‘Arab, rahibamemiliki makna takut. (1992: 436-437).
Barangkali karena kandungan makna irhabyang berupa “membuat takut” atau
“menakutkan” ini, masyarakat Arab menyebut terorisme dengan irhabiyah.
Kendati demikian, harus dimengerti bahwa istilah irhabiyah atau
kata yang terbentuk darinya dalam bahasa Arab tidak serta merta bermakna
terorisme atau teror. Irhabiyahdigunakan untuk menyebut terorisme baru
belakangan, sebelumnya istilah ini digunakan untuk makna aslinya, yaitu
“takut”, “membuat takut”, atau “menakuti”.
Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggunakan kata yang terbentuk dari
kata rahiba, seperti kata turhibun dalam QS. Al-Anfal 60.
Namun makna yang dikehendakinya bukan perintah untuk melakukan teror,
melainkan menakuti atau membuat gentar musuh ketika berada di dalam medan
peperangan.
Semua kata yang terbentuk dari rahiba di dalam al-Quran tidak
ada satu pun yang mengandung makna terorisme. Jika melihat pengertian
terorisme, maka istilah yang dipakai al-Quran
ialah hirabah (tindakan brutal) dan ifsad fi
al-ardl (berbuat kerusakan di muka bumi). (Katsir: 1995, II, 41).
Melakukan tindakan brutal dan berbuat kerusakan di muka bumi tentu
memiliki makna yang sangat luas, yakni tidak hanya tindakan teror. Terorisme
yang menjadi tindakan kejahatan baru, dalam literatur hukum Islam (fikih)
masa lampau belum memiliki padanan istilahnya. Hal ini menjadi pekerjaan
rumah bagi para ulama dan sarjana muslim untuk segera merumuskan fikih anti
kejahatan ini.
Merumuskan dan mendakwahkan ajaran anti terorisme di dalam Islam bagian
dari tugas mendesak supaya umat Islam dapat mengetahuinya berdasarkan
keyakinan agama. Logikanya, jika teroris melakukan aksinya dengan dalih
perintah agama Islam, maka umat Islam harus menghentikannya dengan
berdasarkan dogma serupa, yakni sebagai perintah Allah dan rasul-Nya.
Selama ini penanggulangan terorisme hanya menjadi tanggungjawab
pemerintah, keterlibatan masyarakat secara umum termasuk di dalamnya para
tokoh agama belum banyak. Karena itu untuk menggerakkan masyarakat supaya
bersama-sama melakukan penanggulagan terhadap terorisme maka para tokoh agama
bisa masuk melalui pemberian materi dalil-dalil agama yang memerintahkan umat
Islam untuk merawat perdamaian, memerangi tindakan brutal dan segala
perbuatan kerusakan di muka bumi.
Abu Hamid al-Ghazali (W. 1111), sarjana muslim yang karya-karyanya banyak
dipelajari umat Islam Indonesia dalam Ihya` ‘Ulumiddin, menjelaskan
bahwa tidakan brutal dan berbuat kerusakan bagian dari kejahatan yang harus
segera dihentikan. (2004, II, 387-388). Terorisme yang kian hari masih terus
menghantui masyarakat bisa didekati dengan meminjam konsep kemungkaran yang
dikonsepsikan al-Ghazali, yakni kemungkaran yang harus segera dihilangkan dengan
melibatkan pemerintah dan masyarakat dengan caranya masing-masing.
Umat Islam yang ajaran agamanya kerap disalahpahami teroris bisa
melakukan counter attack dengan merumuskan kembali fikihnya dan
menawarkan fikih baru anti terorisme, lalu hasilnya dijadikan kurikulum di
sekolah, materi ceramah, khutbah, dan yang lainnya.
Dengan demikian kekuatan umat Islam yang berjumlah mayoritas di negeri
ini dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi terawatnya perdamaian dan
keamanan bangsa. Ajaran-ajaran Islam yang kian hari menarik perhatian
masyarakat perkotaan, pada akhirnya tidak hanya berbicara halal dan haramnya
makanan saja, tapi juga memberikan pengajaran yang konkrit terhadap
pencegahan dan penanggulangan terorisme serta tegas mengharamkan tindakan teror
dan kekerasan dalam bentuk apapun.
|
Comments
Post a Comment