Politik dinasti dalam
sejarah Islam dimulai setelah berakhirnya era khilafah, yaitu 30 tahun setelah
wafatnya Nabi Muhammad. Sejak mundurnya Sayyidina Hasan sebagai khalifah
kelima, maka tidak ada lagi khilafah, yang tersisa hanyalah kerajaan. Ini
artinya mengangkat seorang menjadi pemimpin bukan berdasarkan kapasitas dan
kapabilitasnya, melainkan semata melalui jalur nasab. Demokrasi hadir
mengoreksi kesalahan sejarah tersebut. Bagaimana kesalahan itu dimulai?
Abul A’la al-Maududi menulis
buku al-Khilafah
wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan). Dengan berani dan apa
adanya, ulama Pakistan ini menganggap khilafah telah berakhir dengan naiknya
Mu’awiyah menggantikan Sayyidina Hasan. Selanjutnya yang ada kerajaan, bukan
lagi khilafah. Ini untuk menggambarkan bagaimana teladan al-Khulafa
al-Rasyidun telah ditinggalkan. Istilahnya saja khilafah,
namun pada hakikatnya telah berubah menjadi kerajaan.
Maududi mengutip riwayat
ketika Sa’ad bin Abi Waqqash menyalami Mu’awiyah setelah ia dibai’at menjadi
khalifah dengan ucapan: “Assalamu ’alaikum, wahai Raja.” Mu’awiyah berkata:
“Apa salahnya sekiranya Anda berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin?’ “Sa’ad menjawab:
“Demi Allah, aku sungguh tidak ingin memperoleh jabatan itu dengan cara yang
telah menyebabkan Anda memperolehnya.” Bahkan Mu’awiyah sendiri mengerti
hakikat ini sehingga pada suatu hari ia berkata: “Aku adalah raja pertama.”
Demikian Maududi berkisah.
Ibn Khaldun dalam kitabnya, al-Muqaddimah, juga
menyoroti perubahan dari khilafah menjadi kerajaan. Hingga taka da yang tersisa
kecuali namanya belaka, sehingga, menurut ulama besar ini, sifat pemerintahan
telah menjadi kekuasaan duniawi semata. Khalifah hanya menjadi simbol belaka.
Mu’awiyah memindahkan ibu
kota negara dari Kufah ke Damaskus. Sebagai Gubernur Damaskus, beliau menjabat
20 tahun, dan sebagai khalifah, beliau berkuasa juga dalam kurun waktu yang
sama.
Ketika Mu’awiyah berkuasa,
beliau mengangkat pejabat siapa pun yang dikehendakinya, tanpa melalui proses
seleksi yang ketat sesuai kapasitas pejabat tersebut. Kitab Tarikh
al-Thabarimelaporkan ketika Sayyidina Hasan meninggalkan Kufah dan
kembali ke Madinah sebagai rakyat biasa, Mu’awiyah mengangkat Abdullah, putra
Amru bin ‘Ash, sebagai Gubernur Kufah.
Al-Mughirah bin Syu’bah
datang dan berkata kepada Mu’awiyah: “Anda berada di dua geraham singa yang
siap menerkam kekuasaan Anda. Abdullah sebagai Gubernur di Kufah, sedangkan
sebelumnya Ayahnya, Amru bin ‘Ash, sudah menjabat sebagai Gubernur Mesir.”
Mu’awiyah terpengaruh ucapan
al-Mughirah. Maka, Abdullah langsung dicopot dari Gubernur Kufah, dan
digantikan oleh al-Mughirah. Ketika Amru bin ‘Ash mengetahui anaknya telah
dicopot, dia mendatangi Mu’awiyah dan berkata: “Anda berikan kekuasaan kepada
al-Mughirah? Maka, dia akan mengeruk harta kekayaan Kufah dan lantas menghilang.
Taruh orang lain yang takut pada Anda.” Mu’awiyah lantas mencopot al-Mughirah
dan menempatkannya dalam urusan ibadah.
Mu’awiyah mengangkat
sepupunya, Marwan bin al-Hakam, sebagai Gubernur Madinah. Ketika Gubernur Mesir
Amru bin ‘Ash wafat tahun 43 H, Mu’awiyah mengangkat Abdullah, anak Amru bin
‘Ash, yang semula dicopot dari posisi di Kufah, sebagai penguasa Mesir.
Begitulah masalah
pengangkatan pejabat dilakukan sesukanya penguasa saat itu, dan penuh dengan
nepotisme, persis seperti kerajaan.
Ciri lain dari kerajaan
adalah pengganti penguasa berasal dari keluarganya sendiri. Mu’awiyah
mengangkat Yazid, anaknya, sebagai penggantinya. Menurut Ibn Khaldun, itu
dilakukan Mu’awiyah demi menjaga stabilitas negara, meski Mu’awiyah tahu
anaknya seorang fasik. Sejak itu jabatan khalifah bergilir turun temurun
berdasarkan jalur nasab, bukan memilih orang yang terbaik. Itu sebabnya,
karakter khilafah telah berganti menjadi kerajaan.
Sadar bahwa akan ada
penolakan dari para sahabat Nabi yang masih hidup, Mu’awiyah datang ke Madinah
dan melobi anak Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Pertama dia datangi Abdurrahman
bin Abu Bakar. Mu’awiyah mengklaim bahwa pemilihan khalifah berdasarkan
penunjukan khalifah sebelumnya adalah tradisi khalifah pertama Abu Bakar yang menunjuk
Umar sebagai penggantinya. Abdurrahman menjawab kalem, “Tapi Abu Bakar tidak
menunjuk anaknya, kan?”
Lantas Mu’awiyah melobi
Abdullah bin Umar, kemudian Abdullah bin Zubair. Ketiganya menolak memba’iat
Yazid sebagai putra mahkota pengganti Mu’awiyah. Namun yang disampaikan
Mu’awiyah berbeda lagi. Beliau berkhutbah bahwa Yazid, anaknya, telah didukung
oleh ketiga sahabat besar itu. Demikian yang dikisahkan Imam al-Suyuthi dalam
kitab Tarikh
al-Khulafa secara detail dan terang benderang.
Sejak itu berdirilah Dinasti
Umayyah selama 90 tahun (661-750). Kemudian digantikan oleh Dinasti Abbasiyah
dan lainnya. Dalam masa khilafah yang berganti wujud menjadi kerajaan itu
kesalahannya tetap sama: menjadikan khalifah sebagaimana layaknya seorang raja
yang berkuasa turun temurun berdasarkan jalur nasab tanpa melibatkan aspirasi
rakyat.
Ketika khilafah bubar tahun
1924, sebagian negara-negara Muslim yang telah berubah menjadi negara bangsa (nation
state)mengadopsi demokrasi, di mana rakyat dilibatkan memilih pemimpinnya,
baik langsung maupun tidak langsung.
Proses bai’at yang natural
seperti yang terjadi pada 30 tahun pertama khalifah Islam, bukan berdasarkan
pemaksaan seperti periode dinasti Umayyah dan Abbasiyah, dimodifikasi menjadi
sistem pemilu oleh demokrasi. Proses penjaringan kandidat melalui panitia enam
orang yang dibentuk Khalifah Umar terwakili dalam proses di parlemen,
sebagaimana kita lihat di sejumlah negara modern.
Kita mengenal beraneka ragam
mekanisme pemilu maupun sistem parlemen di negara yang berbeda: semuanya itu
bertujuan mengembalikan kekuasaan pada jalur yang hakiki, yaitu mencari
pemimpin terbaik yang dipilih oleh rakyat. Inilah tradisi khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah (khilafah berdasarkan apa yang digariskan
oleh ajaran Nabi Muhammad). Demokrasi telah mengembalikan umat Islam ke jalur
yang benar. Demokrasi adalah bagian dari khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Untuk apa mengejar kemasan
khilafah yang isinya telah berubah menjadi kerajaan, sementara kini kita telah
memiliki kemasan demokrasi, yang isinya justru lebih islami? Anda memilih
minyak babi cap unta, atau minyak samin cap babi? Anda lebih suka kemasan, atau
substansinya, sih? Mikirrr!
credit : nadirhosen.net
Comments
Post a Comment