Menebarkan Narasi Kebajikan Islam, Membendung Radikalisme

Peristiwa teror bom yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, menimbulkan reaksi masyarakat yang bermacam-macam. Melaui gerakan tagar anti terorisme, gerakan peduli terhadap para korban dan gerakan lain. Tak terkecuali, stigma Islam pun kembali tercoreng. Peristiwa seperti ini, bukan pertama kali, melainkan yang kesekian kalinya terjadi. Hal ini tentu merugikan banyak umat Islam terutama di Indonesia.
Terorisme berakar dari pemikiran radikalisme yang diklaim para peneror sebagai bagian dari jihad. Tentu pendapat ini tidak bisa dibenarkan. Islam tidak mengajarkan bentuk kedzaliman terhadap orang lain. Bahkan, seluruh agama pun menolak adanya kekerasan dalam agama. Tak terkecuali Islam sendiri. Apa pun bentuknya dan bagaimana pun aksinya, semua kejahatan merupakan bentuk pendustaan terhadap agama.
Pasca mencuatnya aksi terorisme yang terjadi di daerah Surabaya dan Sidoarja. Hal ini langsung direspon oleh pemerintah untuk segara menindak lanjuti permasalahan tersebut. Salah satunnya melalui penyelesaian Undang-Undang Anti Tereorisme. Pada tanggal 25 Mei 2018 akhirnnya RUU Anti Terorisme pun disahkan Pemerintah.
Adapun Isi RUU tersebut adalah “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”.
Tanggung jawab kejahatan terorisme bukan hanya tangung jawab pemerintah. Masyarakat pun punya andil di dalamnya. Banyak hal yang dapat dilakukan masyarakat dalam memberantas aksi radikal. Salah satunya menebarkan narasi kebajikan Islam lewat media.

Menebarkan Kebajikan Islam lewat Media

Pasca meletusnnya Revolusi Prancis, bisa dikatakan awal glombang baru peradaban manusia. Hal tersebut bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya Ilmu pengetahuan, yang kemudian menghasilkan teknologi canggih. Termasuk Media sebagai salah satu  prodaknya. Hari ini, masyarakat berbondong-bondong dengan mudah mengakses informasi lewat media. Baik melalui media daring (online) maupun cetak. Namun demikian, penggunaan media daring (online), mendominasi dikonsumsi publik dibandingkan dengan media cetak.
Hal ini dapat dibuktikan, pada tahun 2017 Asosiasi Penyelengaraan Jasa Internet Indonesia (APJII) yang bekerjasama dengan Universitas Indonesia (UI)  mengadakan sebuah penelitian tentang penggunaan Internet di Indonesia. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa penggunaan Internet lebih didominasi oleh generasi milenial yang berada di rentan usia sekitar 18-25 tahun. Menyusul usia 26-35 tahun dengan presentase 33,8%, 36-45 tahun dengan presentase 14,6%, dan paling rendah di umur 56-65 tahun dengan jumlah 0,2%.
Berkaitan dengan apa saja yang di akses publik, APJII memaparkan temuannya bahwa, sebagain besar pengguna internet mengakses jejaringan sosial dengan presentase 87,4%, dan angka ini yang paling tertinggi dibandingkan dengan akses lain seperti browsing 68,7%, pesan Instan 59,9%, mencari berita terikini 59,7% dll.
Disadari atau tidak, masyarakat pada hari ini, lebih banyak mendapatkan informasi melalui Media Sosial. Termasuk mengkonsumsi paham radikalisme. Kepala Bandan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius mengatakan, penyebaran paham radikalisme marak dilakukan melalui jejaringan Media Sosial. Ia menyebutkan bahwa, budaya menyebarkan berita hoax merupakan profokasi yang paling ampuh dilakukan, apalagi terhadap orang-orang  yang memilki pengetahun setengah-setengah. Sehingga, menganggap profokasi tersebut menjadi kebenaran.
Parahnya, paham radikalisme rentan terjangkit di kalangan pemuda. Hal ini dibuktikan dari riset BNPT yang menyebutkan bahwa, 39% mahasiswa  dari 15 provinsi terindikasi tertarik  paham radikal. Hasil ini menguatkan bahwa generasi muda dan kampus menjadi target penyebaran paham radikal. Jika ini tidak cepat diantisipasi, maka kecenderungan masyarakat akan paham radikal akan semakin meningkat.
Maka, perlunya menebarkan narasi kebajikan Islam kepada masyarakat melalui jejaringa sosial. Hal ini, dalam rangka merubah image Islam yang dicap sebagai dalang dari radikalisme itu sendiri. Karena pada hari ini, kita dihadapkan dengan benturan ideologi. Dimana, siapa yang mendominasi maka dia lah pemenangnya. Termasuk paham radikalisme. Menebarkan narasi kebajikan Islam melalui berbagai media menjadi sangat penting.

Memerangi Hoax, Memperkuat Gerakan Literasi

Maraknya berita hoax yang tersebar di Media Sosial, menjadi salah satu penyebab paling kuat kaum muda terjangkit paham radikal. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa budaya Sharing tanpa saring marak dilakukan kaum muda. Artinya, kejelian kaum muda dalam membaca dan menelaah berita sangat lemah sekali.
Dalam penelitian UNESCO tahun 2012 tentang minat baca di 61 negara. Indonesia diurutan kedua paling bawah atau 0,0001%. Jika dianalogikan kedalam konteks pendidikan, dari 40 orang yang berada dalam kelas hanya 1 orang yang mungkin membaca serius dalam kelas. Maka, tidak heran jika penyebaran hoax sangat rentan tersebar di jejaringan sosial.
Hoax menjadi keresahan kita bersama, memeranginya adalah suatu langkah yang wajib dilakukan. Seluruh komponen masyarakat harus peduli terhadap bencana ini. Maka, masyarakat harus melek tekonologi, melek literasi dan melek terhadap perubahan zaman.
Memperkuat gerakan literasi menjadi salah satu solusi dalam menantang zaman milenial. Kaum muda sudah saatnya ikut berpartisipasi dalam membangun dan meramaikan komunitas literasi, berpartisipasi dalam menulis di berbagai media. Seperti halnya yang dilakukan oleh Ilmuan Muslim Abad Pertengahan Ibnu Rusyd yang mengkritik karya Al Ghazali Tahafut al-Falasifa dengan karyanya Tahafut at-Tahafut. Ibnu Rusyd mengkritik karya Al-Ghazali bukan dengan cibiran atau hinaan seperti yang dilakukan pada zaman sekarang, melainkan ia menuangkan kritiknya melalui sebuah karya fenomenal.
Untuk menjadi bangsa yang yang maju, dibutuhkan aspek intelektual masyarakat yang tinggi. Untuk itu perlunya membangun budaya literasi sejak dini. Kita lihat, Barat dengan kemajuannya tak terlepas dari budaya literasi yang tinggi.
Sungguh, hari ini masyarakat kita, dibenturkan dengan informasi yang tidak jelas sumbernya. Sehingga banyak yang menjadi korban. Salah satunya terjangkit paham radikalisme. Maka, bersamaan dengan pertumbuhan teknologi yang pesat, bersamaan dengan hal itu pula, peningkatan budaya literasi harus diperkuat.
credit : geotimes.co.id

Comments