Dakwah Kita di Tengah Himpitan Platform

Kehidupan di era komunikasi dan informasi memang tidak akan sama dengan kehidupan sebelum revolusi industri komunikasi ini meledak. Tak heran kehidupan manusia masih terus bernegosiasi dengan kehadiran ruang publik baru bernama media sosial. Dakwah yang tidak hanya disampaikan lewat cara ceramah tatap muka belaka, tapi sudah berbadai medium dari televisi hingga media sosial yang sekarang ramai dipergunakan oleh beberapa pendakwah sekarang.
Dalam setiap perubahan medium pasti terjadi negosiasi, adaptasi, apropriasi dan distorsi, termasuk saat dakwah mulai bersentuhan dengan media sosial. Namun, sisi keterjangkauan menarik diperbincangkan sebagai salah satu perubahan yang paling dirasakan. Sebab, seorang pendakwah di sudut kampung yang tidak terpapar media sosial biasanya hanya masyarakat yang terdekat dapat menerima informasinya.
Berbeda dengan para pendakwah yang menggunakan media sosial sebagai salah satu alat dalam berdakwah, masyarakat yang mendapatkan transmisi informasi keagamaan darinya lebih banyak ketimbang mereka yang berdakwah dengan medium tradisional. Tapi, dakwah dan media sosial tidak selesai hanya di persoalan keterjangkauan, ada banyak hal yang berkelindan dalam irisan dua hal tersebut. Pemirsa dan konten adalah bagian yang tidak boleh dilupakan. Sebab, dua hal tersebut adalah wilayah paling merasakan dampak dari meluasnya keterjangkauan dakwah di media sosial.
Apakah dampak yang dirasakan oleh umat pasca media sosial menjadi corong pelantang suara dan ekspansi dakwah, melintas batas yang selama ini mungkin tidak terpikirkan oleh umat Islam kebanyakan selama ini.
Kemudahan dan keberagaman pilihan yang paling awal dirasakan saat dakwah beririsan dengan media sosial. Tapi, belakangan kita bisa menyadari bahwa keterjangakauan yang menyediakan konten dakwah yang beragam dan kemudahan dalam memilih menyimpan efek domino yang membuat umat memiliki kebebasan dalam memilih konten yang disukai dan ingin dikonsumsi, dan di saat yang bersaman umat juga memiliki kekuasaan untuk memproduksi atau memproduksi ulang konten tersebut dengan pertimbangan seleranya sendiri.
Fasilitas repost, retweet dan shared hanyalah model reproduksi konten dakwah di media sosial, kreativitas umat Islam tidak hanya berhenti di sana. Ada beberapa creator content atau creative content yang memproduksi konten dakwah yang sangat kreatif dengan memanfaatkan konten dakwah offline yang kemudian dikreasi ulang, baik dengan dipotong-potong atau dimuat dalam tampilan baru dalam disenangi kalangan anak muda.
Tampilan baru dakwah ini pula yang memunculkan pendakwah baru yang bisa saja berasal dari luar lingkaran otoritas pendakwah mainstream. Banyak anak muda yang terjun dalam dunia dakwah yang selama ini banyak digeluti oleh orang yang memiliki kualifikasi pendidikan yang mumpuni, atau paling tidak dianggap seperti itu. Sebab, ruang dakwah kita di Indonesia tidak pernah sepi dalam bernegosiasi dengan kehadiran medium dan aktor baru dalam dunia dakwah. Banyak nama dan medium yang bisa disebutkan sebagai dinamika dakwah Islam di Indonesia, jadi fenomena pendakwah, atau apapun mereka menamai dirinya, adalah fakta yang harus dihadapi dan disadari oleh otoritas umat Islam sekarang.
Kehadiran pendakwah muda adalah hal yang biasa sejak media baru muncul di ranah agama, seperti televisi dan radio. Oleh sebab itu, membincang kehadiran pendakwah muda jangan sampai terjebak pada perebutan lahan atau otoritas belaka. Sebab, jika ditelisik mendalam pendakwah muda ini sudah membuat dunia dakwah menjadi tidak lagi serumit dan seketat dulu.
Disadari atau tidak, pendakwah muda sudah merebut ruang dakwah baru yang selama ini tidak terjamah oleh kebanyakan otoritas pendakwah yang telah lama berkecimpung. Namun, apakah pendakwah muda tersebut sudah menjadi otoritas baru di dunia dakwah? Jawabannya jelas saja tidak. Sebab, dunia dakwah di media sosial tidak mengenal otoritas yang absolut. Dunia maya tidak memiliki struktur yang kaku, oleh sebab itu siapapun yang bisa saja menjadi pendakwah yang viral dan disukai banyak orang. Tapi, hal tersebut bisa saja hilang atau lenyap dalam waktu sekejap dengan banyak alasan.
Pendakwah yang viral memang bisa dianggap mempengaruhi masyarakat luas,walau harus diingat viral tidak menjadi hal utama dalam berdakwah. Sebagai model algoritma yang berfokus banyak klik atau pembagian, viral tidak memotret perubahan selera, model atau konten dakwah yang disukai oleh warganet.
Akselerasi perubahan warganet di media sosial semakin sulit dibaca dan dirumuskan. Sebab, laju perubahan yang sangat cepat membuat dinamika dakwah juga terus bergerak tanpa berhenti lama pada satu titik. Jadi, bagi para pendakwah baik muda atau yang sudah lama, mau berkecimpung ke ranah dakwah di media sosial maka kemampuan manajemen dakwah yang canggih dan sesuai dengan media harus dimiliki sebelumnya.
Dunia dakwah yang sudah sangat cepat berubah sekarang tidak lagi menyisakan waktu untuk mengutuk ketinggalan bagi yang tenggelam atau tertinggal, jadi respon yang lincah, kreatif dan cepat adalah senjata utama dalam berdakwah sekarang. Kualifikasi keilmuan memang seharusnya menjadi syarat utama, tapi jika cuma mengandalkan hal tersebut janganlah menggerutu jika konsekuensi dilindas dan tertinggal akan dialami.
Jangan hanya bisa menghujat keadaan jika ranah dakwah sekarang dianggap banyak dikuasai oleh kalangan yang tidak memenuhi kualifikasi. Perbaikilah seluruh kekurangan sebelum masuk ke ranah dakwah media sosial, jika tidak maka yang terjadi adalah bagai tentara yang masuk ke medan perang tanpa satu senjata dan peluru satupun.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin
credit :islami.co

Comments