Islam Tidak Perlu Dibela, Mengapa?

Dulu Gus Dur menyatakan Tuhan tidak perlu dibela. Memang siapa kita hingga mau membela Tuhan? Kalau disanggah, bukan Tuhan yang dibela tapi agama-Nya yang mesti kita bela. Maka jawabannya ada di kitab Ihya Ulumiddin.
Imam Al-Ghazzali (w. 505 H/1111 M) bercerita: Dulu di Masjid Nabawi dihuni oleh Sahabat-sahabat Nabi yang dikenal dengan Ahlus Shuffah. Mereka adalah Mahasantri Kanjeng Nabi. Masjid Nabawi adalah Madrasah atau Universitas tertua di muka bumi, lebih tua dari Al-Qarawiyyin Maroko, Az-Zaitunah Tunisia, maupun Al-Azhar Mesir.
Mereka semuanya sudah bergelar mufti alias berlisensi layak memberikan fatwa. Meskipun demikian setiap kali mereka dimintai fatwa oleh kaum muslimin, mereka saling dorong-dorongan siapa yang paling berhak memberikan fatwa. Persis tradisi warga Nahdliyin saat dorong-dorongan menjadi imam shalat atau tahlilan.
Akhirnya ketika salah satu mereka memberikan fatwa, ia masih menyimpan perasaan kalau-kalau ada sahabat lainnya yang menempati posisinya memberikan fatwa. Saking beratnya posisi sebagai mufti dan efeknya.
كل من كان يفتي كان يود أن يكفيه غيره
Tradisi ini baik dan laik dilestarikan. Yaitu mendahulukan yang lebih ahli dalam berfatwa bidang agama. Ironisnya, kini di perkotaan di era milenial, di era post truth, yang viral adalah yang vokal, yang menang adalah yang garang, meskipun modalnya hanya satu ayat, dalilnya:
بلغوا عني ولو آية
“Sampaikan dariku meskipun satu ayat”
Ayatnya benar tapi penafsirannya terkadang menebar kebencian dan provokatif. Naudzubillah min dzalik. Oleh karena itu Imam Al-Ghazzali mengingatkan: “Waspadalah saat setan-setan berwajah manusia berkata padamu: ‘Jangan kau teruskan tradisi ewuh pekewuh tersebut! (dorong-dorongan siapa yang berhak menjadi mufti, penceramah, dai atau imam). Jika hal ini dilestarikan maka niscaya ilmu agama akan punah!””
Katakan padanya: Sejatinya agama Islam tidak butuh aku! Ia dulu meriah sebelum aku ada (tanpaku)! Demikian setelah aku mati juga akan baik-baik saja, tidak bakal sirna rukun Islam, karena agama Islam nggak butuh aku! sementara aku sangat butuh memperbaiki diri sendiri, hatiku.
إن دين الإسلام مستغن عني، فإنه قد كان معمورا قبلي، وكذلك يكون بعدي،
ولو مت لا تنهدم أركان الإسلام،
فإن الدين مستغن عني،
وأما أنا فلست مستغن عن إصلاح قلبي.
Ajibnya, dalam sebuah hadis sahih malah disebutkan bahwa agama ini akan dikuatkan oleh kaum yang tidak mendapatkan bagian di akherat nanti. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Allah akan menguatkan agama ini dengan hambanya yang pendosa.
إن الله يؤيد هذا الدين بأقوام لا خلاق لهم الحديث
إن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر الحديث
Sejarah berkata dulu waktu perang salib terjadi Imam Al-Ghazali tenang-tenang saja. Agama ini milik Allah, mungkin seperti itu dalam hatinya berkata. Benar saja saat umat Islam ketakutan Islam bakal sirna pada abad ke-12 M, nyatanya Islam masih jaya hingga sekarang. Keyakinan Imam Al-Ghazali tidak meleset.
Demikian pula ketika sinar Islam di bumi ujung barat, Andalus/Spanyol redup tahun 1492 M, Allah menyalakan sinarnya di bumi ujung timur, Nusantara. Kita ketahui bersama bahwa Abad 15 M. merupakan masa di mana islamisasi masif terjadi di Nusantara khususnya Jawa oleh waliyullah yang sembilan atau yang dikenal Wali Songo.
Saudaraku renungkanlah sejenak firman Allah berikut ini:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ الصف 8
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya” (QS. As-Shaff 8)
Kesimpulannya: Agama ini milik Allah, Allah lah yang menjaganya, kita tidak perlu ngotot menjadi pahlawan kesiangan, apalagi pakai provokasi, sebar kebencian, fitnah sana-sini. Allah dan agamanya tidak membutuhkan pembelaan kita, cukup bela dirimu saja.
Sumber: Al-Ihya’ 5/96
Tabik,
Rabat, 14 Okt 2019
Alvian Iqbal Zahasfan
Pemerhati Sejarah Maghribi dan Andalusi
credit : bincangsyariah.com

Comments