Kisah Pemuda Pendiri Bangsa: Beda Agama, Politik dan Pendapat, Tapi Bersahabat

Bagi banyak orang, berbeda pendapat itu berarti bermusuhan, tapi tidak bagi pemuda pendiri bangsa ini

Para Pendiri Bangsa itu bersahabat meskipun sering berbeda pendapat dan beda agama?  Ada banyak sekali dalam sejarah kita yang mencontohnya. Begini nih beberapa kisahnya.
Kamu pernah denggar nama tokoh ini? Ia adalah J. Leimena. Ia adalah tokoh bangsa yang bersahabat dengan tokoh lain yang berbeda agama. Dua sahabatnya dekatnya adalah Mohammad Natsir yang beragama Islam dan Ignatius Joseph Kasimo yang beragama Kristen Katolik. Bahkan, secara ideologis pun mereka berbeda paham loh.
Contoh sederhana adalah Muhammad Natsir dengan Partai Masyumi-nya yang sebenarnya bermimpi untuk mewujudkan syariat Islam di Indonesia. Kasimo lewat Partai Katolik mengusung semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia!” Sedangkan, J. Leimena adalah seorang aktivis dan dokter yang lihai dalam perundingan dan negosiasi zaman dulu. Mantap, kan?
Nah, kita mundur sedikit ke belakang, tahun 50-an, meletuslah Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berambisi menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Ketika pemberontakan ini dapat dipadamkan, Masyumi yang waktu itu merupakan partai Islam terbesar di Indonesia dituduh turut terlibat dalam pemberontakan itu.
Leimena berusaha ikut mencegah dan mempertahankan Masyumi yang dipimpin oleh Natsir, sahabatnya itu, agar tidak dibubarkan Bung Karno. Alasan Leimena sama: membubarkan Masyumi itu melanggar HAM. Sayang upayanya gagal karena pada 13 September 1960, Masyumi dibubarkan pemerintah Soekarno.
Antara Natsir dan Kasimo jelas ada jurang perbedaan paham. Kasimo tidak berusaha mengkatolikkan Indonesia. Ia menganjurkan orang Katolik agar sungguh-sungguh menjadi orang Indonesia. Sebaliknya Natsir lebih mementingkan syariat Islam agar diterapkan di Indonesia.
Tentu saja, mereka sering ini berselisih paham dalam rapat parlemen dan konstituante karena memperjuangkan keyakinannya masing-masing. Namun begitu keluar dari ruang rapat, mereka kembali bersahabat dan bercengkrama akrab. Mereka juga tidak mengajak para pendukungnya untuk menyerang pihak lain.
Persahabatan dan kedekatan Natsir dan Leimena dapat dirasakan dari tulisan obituari untuk mengenang Leimena yang wafat pada 29 Maret 1977. Natsir memuji Leimena sebagai orang yang lembut hati. Leimena dianggapnya sebagai patriot bangsa sekaligus pemimpin umat Kristen, apalagi ia kerap menganjurkan soal bagaimana agama kristen ini juga bisa kok berkontribusi penting bagi negara.
“Soal yang terpenting bagi orang Kristen yang berasal dari Maluku ialah memeluk agama Kristen dan menjadi seorang warga negara Indonesia,” ujarnya.
Ya, Ini penegasan yang penting untuk memberi arah bagi umat Kristen yang merasa tidak sepenuhnya orang Indonesia karena agamanya dibawa dari Barat. Berkat itu umat Kristen meyakini bahwa menjadi Kristen sekaligus menjadi orang Indonesia bukanlah dua hal yang bertentangan.
Baik Natsir, Leimena, maupun Kasimo, ketiganya telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Natsir paling dahulu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, yakni pada 2008. Leimena kemudian menyusul pada 2010. Sementara Kasimo mendapat penghargaan yang sama pada 2011.
Alangkah indah dan mengharukan persahabatan di antara tiga pahlawan nasional berbeda agama dan ideologi politik tersebut, bukan? Para politisi dan negarawan Indonesia masa kini semestinya banyak belajar dari para pendahulu ini.
Agama boleh berbeda, pilihan politik boleh berbeda. Ideologi politik boleh berbeda. Namun, semua itu tidak boleh menghalangi persahabatan dan keinginan yang sama, yakni memberikan yang terbaik untuk Indonesia. Perbedaan juga tidak boleh dijadikan alasan atau alat untuk menyerang pihak lain, seperti yang dewasa ini kerap kita jumpai.
Wallahu A’lam.
credit : islami.co

Comments