Gus Ulil: Menjadi Manusia Bijak di Era Post-Truth

Pada peringatan milad Fakultas Imu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Gus Ulil diundang sebagai pengisi di pembukaan acara tersebut. Kopdar Ngaji Ihya menjadi salah satu kegiatan pembukaan pada milad ini, sebuah kegiatan yang menjadi rutinitas Gus Ulil belakangan ini. Kegiatan kopdar dilaksanakan pada Selasa malam, 29 Oktober 2019.
Beliau biasa melakukan kopi darat ngaji Ihya dengan konsep pembacaan kitab Ihya dan diskusi di berbagai tempat. Kali ini, beruntunglah, FIDKOM menjadi salah satu tempat yang disambangi Gus Ulil untuk melakukan kopdar.
Kali ini Gus Ulil sampai pada bagian penjelasan distorsi beberapa makna yang dituliskan oleh Imam al-Ghazali, salah satunya adalah kata “tauhid”. Pada era ini tauhid dimaknai sebagai salah satu bidang ilmu yang mempelajari teologi. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa kata “Tauhid” berubah maknanya menjadi sebuah kemampuan mendebat lawan yang tidak meyakini ketuhanan atau kemampuan untuk meluruskan hal-hal yang syubhat. Sehingga istilah “ahli kalam” atau “ulama tauhid” itu muncul dan disematkan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan tersebut.
Padahal makna “tauhid” pada dasarnya adalah mengesakan Allah dan tidak melihat selainNya. Lalu ekpresi bertauhid ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik hubungan vertikal antara manusia dengan hambaNya juga hubungan horizontal yaitu, hubungan manusia kepada makhluk. Ia merupakan praktik, bukan sekadar teori.
Gus Ulil lalu mengaitkannya kepada sikap manusia dalam bertauhid bisa diaktualisasikan dalam menghadapi fenomena di era Post-Truth atau Pascakebenaran. Istilah ini muncul untuk meggambarkan situasi ketika manusia lebih cenderung menilai sesuatu dengan cara yang subjektif, bukan berdasarkan informasi atau data dan penilaian yang objektif. Mereka hanya meyakini kebenaran yang ingin mereka yakini, dan mengabaikan informasi lainnya meski itu benar. Siapapun bisa terjebak pada hal ini.
Lalu Gus Ulil meghadirkan istilah At-Tasaquth dan Iltifaat yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’At-Tasaquth ialah kebencian yang berlebihan kepada orang lain atau suatu golongan. Kebencian tersebut muncul bukan karena ia mengetahui kebenarannya, tapi karena sikap fanatik terhadap kebenaran yang ia yakini atau fanatik terhadap golongannya. Sehingga ia menutup diri untuk menerima informasi dari yang lain meskipun itu bisa jadi benar. Sebaliknya, iltifaat adalah sikap menyukai sesuatu secara berlebihan dan begitu subjektif. Sikap ini juga ditimbulkan dari sikap fanatik terhadap golongan yang ia sukai.
Tauhid menjadi solusi untuk tidak terjebak pada kedua sikap tersebut, begitulah yang termaktub dalam kitabnya dan kemudian dijelaskan oleh Gus Ulil secara simpel dan mengena. Ini juga menjadi ciri khas dari setiap kopdar Ihya’ yang diadakan oleh Gus Ulil.
Beliau mampu menghadirkan penjelasan kitab Ihya dengan sederhana, membumi dan mudah sekali dipahami. Beliau berhasil menghidupkan kitab Ihya’ di kehidupannya untuk dipahami dan dilaksanakan oleh banyak orang. Lantas bagaimana ekspresi tauhid dalam menghadapi era Post-Truth ini?
Seperti yang sudah dipaparkan, tauhid adalah “tidak melihat selain Allah”. Artinya, jika seorang hamba sudah bertauhid maka ia takkan sampai pada sikap at-Tasaquth dan Iltifaat tadi. Sebab ia meyakini segala kebaikan dan keburukan yang terjadi ada Allah yang berperan untuk memberikan kita hikmah dan pelajaran. Bahwa sikap menunggalkan kebenaran tidak mungkin dimiliki oleh orang yang telah bertauhid dengan sebenar-benarnya. Ia takkan lagi mengharapkan pujian dan membangga-banggakan dirinya atau kelompoknya.
Dampaknya, ekspresi bertauhid dengan benar akan menjadikan ia manusia bijak dalam menilai sesuatu, menilai informasi yang tersebar. Memang, rasanya sulit sekali untuk bisa tidak terjebak pada informasi yang tersebar melalui internet. Sangat sulit untuk membedakan informasi yang benar-benar valid atau hoaks belaka. Terlebih, informasi tersebut sejak mula adalah informasi yang mengarah pada kebenaran yang selama ini kita yakini.
Pada akhirnya Gus Ulil menegaskan bahwa era disrupsi membuat kita menjadi manusia yang cepat sekali menentukan sikap dan merespon sesuatu, padahal seharusnya kita berhati-hati dalam menyikapi sesuatu. Kita menjadi manusia yang seringkali terjebak pada perasaan-perasaan ingin dipuji dan dibanggakan.
Lalu, ia juga menegaskan bertauhid bukanlah sebuah teori belaka. Melainkan ekspresi yang lahir dari kemurniannya memandang Tuhan sebagai Zat yang patut disembah, dijadikan tempat asal dan kembali. Orang-orang yang ahli dalam ilmu tauhid belum tentu ia bertauhid dengan benar. Orang-orang yang ahli dalam ilmu tasawuf sehingga disebut ahli tasawuf juga belum tentu ia bertasawuf.
credit : bincangsyariah.com

Comments