ujung_pena, Muhammad Nur Azami,
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, bersama
teman-temannya, tengah menyiapkan diskusi tentang sosok Pramoedya Ananta Toer,
akhir April lalu.
Saya temui di sebuah
taman di kampus Ciputat, mereka membagi undangan dan brosur dengan gambar
sastrawan Pramudya - tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat, Lekra, yang berafiliasi
dengan Partai Komunis Indonesia.
"Tidak menjadi
soal dan tabu membaca karya-karya Pram," seru Azami. Mulai kuliah empat
tahun lalu, mahasiswa jurusan sejarah kebudayaan Islam ini - dan generasi
seangkatannya - tumbuh dalam atmosfir kebebasan usai rezim otoriter Suharto
runtuh.
Secara budaya
dibesarkan dalam tradisi Nahdlatul Ulama, cara berpikir Azami pun terhubung
erat dengan ideologi anak-anak muda NU yang dipengaruhi pemikiran Gusdur alias
Abdurrahman Wahid.
Dalam lima belas tahun
terakhir, wajah tradisional yang selama ini dilabelkan kepada kaum Nahdiyin
seperti tertutupi cara berpikir progresif yang ditunjukkan anak-anak mudanya.
Memperhatikan
pemikiran dan penyikapan Azami siang itu, saya kemudian teringat sosok Ulil
Abshar Abdalla, Ahmad Sahal - dua aktivis muda berlatar NU yang dikenal
liberal.
Tipikal penganut Islam
moderat, Azami pun tidak terlalu tegang ketika bergelut dengan berbagai tema,
isu atau wacana yang selama ini dianggap terlalu sensitif.
Makanya, mereka hanya
tertawa kecil ketika saya mengungkap sejumlah kasus pembubaran diskusi
mahasiswa tentang tema 'kiri' oleh oleh kelompok-kelompok intoleran, belakangan
ini.
"Kami sudah
melewati tapal batas agama," kata Azami sambil tertawa. Tawa Azami siang
itu kemudian menular pada rekan-rekannya yang berlatar aktivitas berbeda, mulai
pecinta alam dan fotografi. Mereka memang tergabung secara cair dalam sebuah
kelompok studi.
ISIS dan HTI mampir ke kampus Ciputat
Sebagai pegiat anti
sektarian, Azami mengaku kaget ketika sekelompok orang mendeklarasikan dukungan
kepada kelompok militan ISIS di kampusnya, kira-kira dua tahun silam.
Memang saat itu mulai
merajalela dukungan terbuka terhadap kelompok tersebut, dan pemerintah
Indonesia belum melarangnya - ketika itu. "Mereka bukan mahasiswa
sini," katanya. "Mereka cuma menyewa ruangan saja."
Namun demikian, dia
tidak memungkiri ada rekannya sesama mahasiswa di kampusnya mendukung sistem
kekhalifahan, walaupun mereka menolak ISIS. Azami terus-terang menyebut Hizbut
Tahrir Indonesia, HTI.
Apa yang bisa Anda
katakan ketika paham transnasional seperti HTI menganggap sistem demokrasi
penuh kebobrokan? Tanya saya. Seperti yang diyakini banyak orang, Azami pun
mengatakan "sistem demokrasi masih relevan seperti masyarakat
multikultural Indonesia".
Menurutnya, tidak ada
jaminan jika sistem diubah, maka semua masalah bakal tuntas. "Jadi, di
sini masalahnya bukan mengubah sistem, tapi bagaimana mengubah karakter
pejabatnya," kata aktivis organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia,
PMII, yang secara ideologis segaris dengan NU.
Dalam beberapa
kesempatan, katanya, pihaknya pernah terlibat diskusi dengan aktivis HTI
tentang konsep kekhilafahan. Dan menurutnya, ketika pertanyaan menjurus
"siapa yang akan menjadi pemimpin dalam sistem kekhalifahan", Azami
menganggap para aktivis HTI kebingungan untuk menjawabnya.
"Dan bagi saya
seorang anak muda Muslim, sistem demokrasi sudah diterapkan oleh Nabi Muhammad
setelah hijrah ke Madinah," paparnya.
Kepada lawan
diskusinya dari HTI, Azami pun mengutarakan: "Indonesia adalah negara yang
sangat beragam, bagaimana pun Pancasila merupakan azas yang sangat
Islami".
Dia juga mengingatkan
kembali tentang peran pendiri negara Indonesia yang sebagian adalah para
pemimpin Islam, selain nasionalis dan sosialis.
"Tentu saja
demokrasi Pancasila yang didirikan para founding
fathers kita masih relevan hingga saat ini," kata Azami, sekaligus
mengakhiri pertemuan siang itu.
KAMMI menolak negara Islam
Yulianto Agung
Prabowo, kelahiran 1988, masih ingat kesan awalnya terhadap organisasi Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, KAMMI, yang kelak mendorongnya untuk bergabung
di dalamnya.
Kejadiannya kira-kira
sepuluh tahun silam. Sebagai mahasiswa baru di Fakultas Teknik Elektro,
Institut Teknologi Sepuluh November, ITS, Surabaya, dia mengaku didekati oleh
kakak klasnya sekaligus aktivis KAMMI.
Awalnya, Agung -
begitu sapaannya - mengaku cuek. Tapi sang senior tak
menyerah. "Dia terus mengajak saya ngobrol, membantu saya dalam hal apa
pun." Pada akhirnya pria asal Brebes, Jateng ini pun luruh setelah melalui
diskusi panjang.
Sejak saat itulah dia
bergabung KAMMI. Tapi ada satu hal yang membuatnya terkesan - dan diingatnya
terus hingga sekarang. "Tidak ada satu pun anggota KAMMI yang
merokok," ungkapnya.
Dibesarkan dari rahim
kumpulan lembaga dakwah di masjid-masjid kampus, organisasi berlabel Islam ini
dilahirkan setelah Suharto turun dari kursi presiden pada 1998. Di kalangan
para pegiat kemahasiswaan, KAMMI dikenal militan, puritan dan organisasinya
dikenal rapi.
Akhir April lalu, saya
bertemu Agung di sebuah rumah makan di jalan Manyar, Surabaya. Kini dia
menjabat Ketua KAMMI Jawa Timur. Dia ditemani Gunarko Aryanto, ketua KAMMI
Surabaya - mereka sesama sarjana (S1) Teknik Elektro ITS.
Bukan hal aneh ketika
ada yang mengaitkan KAMMI dengan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir, melalui
gagasan dan ideologinya. Hal ini didasarkan sejarah kelahirannya dari lembaga
dakwah kampus, yang melalui tokoh-tokoh pendirinya terkait dan terinspirasi
oleh organisasi Ikhwan. Di awal perjalanannya pun KAMMI menuntut penghapusan
asas tunggal Pancasila.
Apakah Anda bergabung
KAMMI karena organisasi ini mendukung pendirian negara Islam di Indonesia?
Tanya saya. Agung mengatakan visi besar organisasinya tidak mengenal tujuan
seperti itu.
Walaupun demikian,
Agung sempat curiga ide pendirian negara Islam adalah tujuan KAMMI. Dia lantas
menceritakan isi pertanyaannya kepada sang senior yang membujuknya untuk
bergabung KAMMI, kira-kira 10 tahun silam
"Ini mengarah ke
situ (ke pendirian negara Islam), enggak? Karena saat itu isu NII (Negara Islam
Indonesia) juga sangat gencar sekali."
Jawaban sang senior
melegakan Agung. Dan sore itu, Agung menyimpulkan: "Saya selama 10 tahun
(menjadi anggota KAMMI) tidak ada diajarkan untuk mendirikan negara
Islam."
Konsensus Pancasila
Lantas, bagaimana
dengan konsep khilafah yang digaungkan
HTI untuk menggantikan sistem demokrasi Pancasila? Saya bertanya lagi.
"Jangan 'kan
masalah khilafah, negara Islam pun kita tidak mengajarkan ke sana," Agung
kembali menegaskan.
Dia lantas
mengingatkan saya konsensus para pendiri bangsa Indonesia, termasuk para
pemimpin Islam, yang menyatakan Pancasila sebagai ideologi negara. "Ini
konsensus yang harus kita jaga."
"Sehingga kita
menolak konsep menggantikan NKRI dengan khilafah," tegas Agung.
Lagipula, menurut
Gunarko Aryanto, sistem kekhalifahan yang ditawarkan oleh HTI tidak diterima
oleh mayoritas warga Indonesia. "Jadi, saya pikir percuma saja," kata
Gunarko, kelahiran 1991, yang juga ketua KAMMI Surabaya.
Menurutnya, ada
cara-cara lain misalnya melalui reformasi untuk memperbaiki keadaan di
Indonesia saat ini, tanpa harus mengubah sistemnya.
Dan, bagaimana
tanggapan Anda terhadap anggapan sebagian warga Indonesia yang menyebut
Pancasila itu merupakan produk sekuler? Saya bertanya lagi.
"Harus melihat
sejarah, bahwa negara ini didirikan dengan konsensus yang melibatkan
tokoh-tokoh Islam juga," ujar Gunarko yang juga alumni ITS Surabaya.
Dan, "mananya
yang sekuler? Di sila yang mana? Ketuhanan yang maha Esa adalah Tauhid,"
tegas pria asal Jakarta ini.
Agung kemudian
menambahkan, jika ada yang menilai Pancasila adalah produk sekuler, orang-orang
itu tidak memahami sejarah Islam di Indonesia. "Dan mereka tidak memahami
bahwa para ulama itu ikut memperjuangkan Pancasila."
credit: https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160506_indonesia_lapsus_radikalisasi_anakmuda_berebutpengaruhdikampus
Comments
Post a Comment