Ujung_Pena, Tidak
perlu diragukan lagi bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pesan
perdamaian.
Mungkin banyak orang yang masih menyangkal hal ini. Mereka menganggap Islam
bukan agama damai. Perang yang terjadi di sepanjang sejarah Islam, mereka
yakini sebagai bukti konkrit akan jauhnya Islam dengan ajaran perdamaian.
Apakah benar anggapan seperti ini? Tentu Tidak. Mari kita lihat sejarah awal
dari agama ini. Nabi Muhammad saw mendapat mandat sebagai "utusan Allah
swt" di Mekah. Penyebaran Islam di Mekah sendiri tidak sesuai harapan
besar Nabi Muhammad saw. Karena itu, Nabi saw membentuk aliansi politik baru
dengan menjadikan Madinah sebagai Negara yang menjadi alat dan sarana
menyebarkan pesan perdamaian Islam.
Visi Besar nabi untuk menjadikan Madinah sebagai "corong" atau pusat
penyebaran Islam bagi generasi Islam awal sukses besar. Islam di madinah menjadi agama mayoritas yang
kuat. Tapi menjadi mayoritas tidak membuat Nabi saw menyesampingkan kelompok
minoritas dengan agama yang berbeda. Kita bisa melihat melalui sejarah,
bagaimana bangsa Madinah saat itu bisa hidup berdampingan, rukun dan damai
walaupun mereka mempunyai perbedaan keyakinan dan cara hidup.
Memang, terdapat Narasi Kitab suci yang mengatakan adanya konflik yang terjadi
antara orang-orang muslim dan suku Yahudi di madinah. Tetapi sebenarnya, konflik itu hanya
bersifat temporal saja. Artinya hanya sebagian kelompok Yahudi yang bermasalah dengan muslim
Madinah. Yang lain, masih banyak yang hidup dalam bingkai toleransi dan cinta keberagaman.
Barulah setelah Islam Mayoritas menguat di Madinah. Nabi Muhammad saw yang kita
tahu semua, bagaimana ia tidak diperlakukan secara adil di Makah, atas perintah Allah swt
kembali menuntut keadilan sebagai warga Makah. Maka terjadilah "fathul makkah"
Peristiwa penaklukkan Mekah yang kita tahu juga tidak berakhir dengan tragedi berdarah. Melainkan adanya
kesepahaman dan mufakkat bersama untuk membentuk pemerintahan baru di Mekah. Inilah sedikit kisah
sejarah Islam di masa lalu.
Berdasarkan sejarah ini, dapat disimpulkan Islam dan cinta tanah air adalah
kesatuan tunggal yang tidak terpisahkan. Jika kita amati, Nabi Muhammad saw; saat menjadi
pemimpin bangsa Madinah sudah menanamkan sikap nasionalisme dalam tubuh bangsa
Madinah saat itu. Nasionalisme yang dipadukan oleh semangat berislam
"rahmatan lil alamin" memicu terjadinya suatu sistem Negara yang
sarat dengan kehidupan dalam perdamaian dan cinta keberagaman. Didapuk jadi
pemimpin Negara Madinah.
Nabi tidak serta merta memaksa penduduk yang beragama berbeda untuk tunduk pada
ajaran Islam atau mengganti agamanya "converted to Islam". Nabi saw sadar bahwa
beragama bukanlah hal yang harus dipaksakan. Sangat jelas kita tahu narasi
kitab suci mengatakan, "La ikraha fi addin" Tidak ada paksaan dalam beragama. Hal ini berlaku pada agama apapun. Tidak boleh ada
pemaksaan dalam beragama oleh otoritas pemerintahan suatu Negara.
Pada zaman now, di Indonesia ada orang yang terang-terangan mengatakan bahwa
Nasionalisme yang bisa diartikan cinta tanah air "Tidak ada dalilnya"
bahkan dengan bangga berargumen "Saya sudah mentalak 3 keyakinan terhadap
Nasionalisme" Menurut orang-orang ini, Nasionalisme hanya menjadi
"penyakit" yang bisa menyebabkan rusaknya persatuan seluruh umat
Islam. Dengan alasan itu, mereka merasa bisa berbuat sesuka hatinya. Misalnya,
dengan menolak untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Bukan itu saja, mereka juga
banyak menggiring opini masyarakat Islam bahwa hak suara yang diberikan dalam
pemilihan umum adalah sebuah kesia-siaan belaka. Lebih ekstrim lagi mereka
mengatakan, "setiap celupan jari di dalam tinta pada Pemilu, merupakan
awal dari "celupan" pada api Neraka.
Benarkah demikian? Tentu Tidak. Argumen seperti ini bisa dikatakan mengada-ada
saja. Mereka sebenarnya hanyalah sekelompok orang yang tidak pernah berterimah kasih
terhadap jasa-jasa para pahlawan bangsa ini dalam meraih kemerdekaan.
Tidak heran jika organisasi terbesar di Indonesia Nahdatul Ulama (NU) berjuang
sedemikian rupa dalam menghancurkan paham "khilafah" sampai ke akar-akarnya. Dan pada
masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, HTI (Hizbu Tahrir Indonesia) mengalami
cobaan yang begitu berat;dibekukan/dilarang beroprasi.
Bukan tanpa alasan otoritas pemerintah Republik Indonesia membekukan HTI. Salah
satu
sebabnya adalah; ideologi mereka yang cenderung mengesampingkan/menolak
Pancasila sebagai dasar suatu Negara. padahal kita tahu, Pancasila adalah bukti
dari terwujudnya Negara Indonesia yang mengayomi setiap perbedaan: Suku, Ras, kepercayaan dan keyakinan.
Memang, ada semacam anggapan di dalam masyarakat khususnya mereka yang
cenderung berada pada kubu Islamis mengatakan, "Khilafah bukanlah paham
yang bertetangan dengan Pancasila, justru dalam bingkai "ideologi
khilafah", Pancasila telah mendapatkan tempatnya". Dengan pemahaman
seperti ini, mereka ingin kita tidak perlu merisaukan "ideologi khilafah"
setiap ideologi pada prinsipnya hanya sebatas pemikiran tanpa gerakan. Menurut
saya anggapan itu bisa jadi benar. Tapi dengan semakin bergeraknya
"ideologi khilafah" ke arah ekstrimis-radikal: ISIS. Belum lagi
sel-sel tidur yang berafiliasi dengan kelompok ini masih banyak dan bisa terus
mengancam kenyamanan hidup kita, yang di Indonesia saja sudah banyak memakan
korban dan meluluhlantakkan kantor polisi, sarana- sarana publik dan lain
sebagainya. Dengan mempertimbangkan "mudarat" bahaya yang lebih
besar, maka pemerintah memutuskan untuk melarang "ideologi khilafah"
menjamur di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian pula, NU yang dari awalnya sudah "tidak sreg" dengan
Ideologi Khilafah, semakin kuat mendukung pemerintah dalam melawan propaganda-propaganda simpatisan dan
pendukung Ideologi ini. Banser yang dikenal sebagai penjaga NKRI juga tidak
tinggal diam. Segala upaya dilakukan untuk bisa mengimbangi "counter
attack" kelompok pembela HTI di media sosial dan ceramah-ceramah agama.
Salah satu upaya mereka dalam membungkam ajaran Khilafah adalah dengan
melakukan upaya verifikasi terhadap setiap penceramah yang terindikasi sebagai
pendukung "khilafah". Kita tentu melihat bagaimana upaya Banser ini
dianggap sebagai bentuk "persekusi ulama"
Benarkah demikian? Tidak. Bagi Banser NKRI adalah harga mati. Jadi mencegah
orang-orang yang ingin merusak NKRI adalah sebuah kewajiban dan ini bagi mereka
merupakan Jihad melawan pemecah bela keberagaman di Indonesia.
Sebagai penutup. Islam dan Nasionalisme tidak pernah berada pada kutub yang
berbeda. Artinya, Nasionalisme dan Islam adalah kesatuan tunggal yang tak bisa dipisahkan. Dengan
Nasionalisme Negara Indonesia bisa terbentuk dan lahirlah Pancasila sebagai dasar Negara
kita. Kita patut bersyukur pada pahlawan-pahlawan bangsa ini yang berjuang meraih kemerdekaan
dari tangan penjajah.
Hadratus syaikh Hasyim Asyari' sebagai pemimpin tertinggi Nahdatul Ulama di
masa itu, terang-terangan mengobarkan Resolusi Jihad melawan penjajah, dengan
semboyan "cinta tanah air bagian dari Iman" orang-orang Islam semakin
bersemangat berjuang untuk kemerdekaannya.
Lantas saat ini ada orang yang mengatakan, nasionalisme tidak ada dalilnya.
Untuk mengahancurkan argumen orang seperti ini, kita hanya perlu tersenyum dan mengatakan, "
Apa dalil untuk menjaga rumah kita agar tetap bersih dan nyaman dihuni?". Mari kita cerdas dalam
beragama, tidak semua persoalan yang ada di muka bumi ini ada secara literalis dalam kitab suci.
Karena itu, Allah swt menyuruh kita untuk membaca, belajar dan berpikir. Dengan mendayagunakan akal
secara maksimal, kita mengerti akan pentingnya mencintai tanah air. Cinta tanah air bukan
berarti mengesampingkan persoalan-persoalan umat Islam di Negara lain. Kita tetap bisa berjuang untuk membumikan
Islam walaupun kita hidup di Negara Indonesia.
Ada slogan " Indonesia milik Allah" tidak ada yang salah dengan
"slogan" itu, yang menjadi masalah adalah; jika slogan ini dijadikan "tool" alat untuk tidak mematuhi
standar hukum negara. Apalagi dijadikan alasan untuk melegitimasi ketidakabshan Nasionalisme sebagai unsur
penting dalam bernegara. Mari kita menjadi warga negara yang baik dengan
menghargai jasa para pahlawan bangsa ini, para pendiri atau founding father
kita. Tanpa mereka kita bangsa Indonesia mungkin belum bisa menghirup nikmatnya
udara kemerdekaan dan kebebasan. Mari kita belajar dari bangsa lain yang saat
ini masih sibuk berperang antar sesama mereka. Tidak jelas, mereka berperang
atasnama siapa. Terkadang kepentingan politik yang dibalut dengan jubah agama
bisa membuat orang semakin beringas dalam menyakiti orang lain.
Comments
Post a Comment