Perlukah Jihad di Negara Demokrasi?


Syariat Islam diturunkan untuk menjamin lima kebutuhan prinsipil dalam kehidupan manusia. Yaitu nyawa, keyakinan, akal pikiran, harta kekayaan dan keturunan. Para ulama menyebutnya kulliyatul khams. Sebagian para sarjana menyebutnya maqashid syariah, objective of shariah, atau philosophy of islamic law (filsafat hukum Islam). Ini kajian penting dan tidak boleh dilewatkan oleh orang-orang yang belajar hukum Islam.
Nah, jaminan terhadap kelima kebutuhan di atas dapat terwujud secara efektif melalui instrumen negara. Negara yang dapat menjamin keterpenuhan  kelima prinsip pokok di atas sama dengan menjamin terlaksananya syariat Islam. Sampai di sini ada pandangan unik dari seorang ulama kenamaan Tunisia. Ibnu Ashur (w.1973). Menurutnya, negara-negara demokratis pada prinsipnya telah memberikan jaminan lima prinsip itu.
Ibnu Ashur, salah seorang ulama terkemuka yang juga rektor Universitas Zaitunah, Tunisia, pernah menyatakan dalam bahwa negara yang paling islami adalah Amerika Serikat. Dia melihat demokrasi sebagai ‘illat atau alasan rasional mengapa Amerika Serikat saat itu disebutnya islami. Dibanding kekhalifahan Turki Usmani, atau kerajaan-kerajaan Muslim.
Ibnu Ashur mengkritik Ali Abd Raziq yang menyatakan Islam tidak pernah hadir dalam bentuk negara. Lebih-lebih model kekhalifahan. Menariknya, Ibnu Ashur juga tidak mendukung paham Pan-Islamisme mendukung kekhalifahan Turki saat itu. Ibnu Ashur malah mendukung demokrasi.
Saya menduga kuat, alasan utamanya adalah karena demokrasi menyediakan ruang bagi terlaksanakannya syariat Islam yang lebih adil di antara sesama umat Islam, bahkan berbagai kelompok sosial lain, dibanding model kekhalifahan. Negara yang menerapkan demokrasi yang mengizinkan warga negaranya melaksanakan ajaran agamanya, mendakwahkan dengan baik, dan memberikan perlindungan kepada penganutnya, tidak boleh dijadikan musuh, apalagi menjadi sasaran serangan dalam konteks jihad.
Saya ingat Syekh Abu Bakr Syato, pengarang Syarah Fathul Muin pernah menulis dalam bab jihad. Jihad adalah sarana (wasilah). Tujuan atau ghoyah-nya adalah sampainya pesan Islam melalui dakwah. Jika dakwah dapat dilakukan dengan bebas, orang dapat melaksanakan ajaran agamanya, maka dengan sendirinya jihad-qital tidak diperlukan.
Negara seperti Indonesia yang dihuni mayoritas Muslim, dikuasai oleh politikus-politikus Muslim dengan beragam gagasan politiknya, terjaminnya kesempatan pemenuhan lima kebutuhan dasariah warganya, kebebasan mendakwahkan dan menjalankan agama, yang dibangun dengan darah umat Islam adalah salah bila dianggap sebagai ‘musuh agama’, ‘musuh Tuhan’, yang harus diperangi.
Hari-hari ini, sebagian anak bangsa yang kehilangan memori historisnya, sedang berupaya mendeligitimasi eksistensi negara tempat mereka tinggal dan hidup. Mereka menggunakan dalil-dalil agama, teks-teks Alquran dan Hadis, yang dalam pandangan mereka telah mengecam realitas ekosospolbud mereka.
Padahal, menggunakan dalil-dalil agama untuk mendeligitimasi eksistensi negara Indonesia adalah sebuah upaya destruktif dan merusak yang dapat menghantarkan bangsa yang damai ini kepada perang saudara: terabaikannya kulliyatul khams dari kehidupan masyarakat banyak. Di sini, sepertinya teks-teks agama dibaca, dipahami pengertian tekstualnya, namun pada saat yang sama diabaikan tujuan-tujuannya yang berintikan serangkain virtue atau nilai kebajikan. Jadinya, orang beragama dengan spirit vandalistik.
Saya sih sayang bangsa dan negara. Sayang keluarga, sayang kawan dan saudara. Ngeri kalau kami harus saling bunuh. Lebih sayang lagi sama agama. Gak tega jika agama yg tujuan diturunkannya sebagai rahmat, malah jadi niqmat alias bencana. Apa gak bisa sih beragama yang konstruktif dan positif? Saya kira kok penting yah memahami filosofi syariah dalam konteks berbangsa dan bernegara. Biar kayak Syekh Ibnu Ashur dan Syekh Abu Bakr Syato itu.


Comments