Jika Agama Islam Dijadikan sebagai Ideologi Negara

Perdebatan tentang bentuk negara Islam selalu saja terjadi di tengah-tengah kita. Hal inilah yang menjadi menarik untuk kita perbincangkan.

Banyak pihak-pihak yang menginginkan agar negara ini menjadi negara Islam. Agama Islam menjadi ideologi bangsa. Hukum Islam menjadi hukum negara. Melihat hal demikian, berdasarkan pandangan penulis, Islam yang mana? Bukankah Islam selama ini terdiri dari berbagai macam aliran. Bukankah selama ini setiap para penganut aliran dalam Islam mengklaim bahwa Islam yang dianutnya yang paling benar. Sedangkan Islam yang dianut orang lain dipandang salah.
Apabila benar Agama Islam dijadikan sebagai ideologi negara, bukankah itu justru mereduksi Islam itu sendiri? Islam yang asalnya luas menjadi sempit. Berhenti pada tataran ideologis semata. Padahal islam itu sangat luas. Ia merupakan jalan hidup masyarakat.
Selain itu, agama seharusnya menjadi sumber landasan moralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu ketika Gus Dur ditanya Prof. Mitsuo Nakamura dari Jepang. Begini pertanyaannya, “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara, mengapakah justru sekarang Anda justru membawa agama dalam kehidupan bernegara?” Gus Dur pun menjawab, bila yang terjadi  (dan terus terang saja, dikembangkan Gus Dur Melalui PKB), adalah menolak langkanya moralitas dalam kehidupan politik kita dewasa ini.
Jadi dengan demikian, kalau dalam masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non agama dalam kehidupan politik, di negara-negara berkembang yang belum memiliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasar-dasar agama. Ukuran-ukuran ideologis-agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk kepentingan para pemeluk agama tersebut. Di siniliah letak antara moralitas dan ideologi, walaupun sama-sama berasal wahyu yang satu.
Dalam Islam sendiri belum ada riwayat pasti terkait negara agama. Nabi tidak pernah secara langsung memberi mandat secara langsung bagaimana pergantian pemimpin. Begitu Nabi wafat, beberapa hari kemudian semua bersepakat Abu Bakar menjadi khalifah atau pemimpin. Begitupun ketika Abu Bakar hendak meninggal beliau memberi wasiat bila yang menggantikannya kelak ialah Umar bin Khattab. Lalu, sebelum Umar wafat, Umar menunjuk dewan pemilih yang berisi tujuh orang untuk memilih khalifah. Dan jadilah Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga. Dan yang terakhir setelah Utsman, kemudian Ali bin Abi Tholib yang menggantikannya. Setelah keempat khalifah tadi wafat bentuk kepemimpinan dalam Islam menjadi kerajaan, baik Umayah, Abbasiyah dan Turki Ottoman.
Masih menurut Gus Dur, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas negara-bangsa (nation-state), ataukah negara kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Sampai di sini mungkin kita menemukan sebuah titik terang, bila dalam Islam tidak menyebutkan bagaimana bentuk negara. Tidak ada juga keterangan yang menyebutkan bila Islam merupakan sebuah ideologi. Islam merupakan jalan hidup masyarakat yang menjadi landasan moralitas dalam sebuah negara itu sendiri. Artinya meskipun Islam muncul bukan dalam bentuk sistem atau ideologi, tapi Islam muncul sebagai kerangka acuan kehidupan moralitas bernegara.
Hemat penulis, karena dalam Islam tidak menyebutkan secara jelas bagaimana bentuk negara Islam. Yang terpenting yakni kita dapat beribadah dan menjalankan ajaran agama tanpa kurang suatu apapun dalam sebuah negara tersebut. Bukankah itu juga sudah Islami?
Ahmad Solkan, saat ini melanjutkan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga


Comments