Malam itu, Gus Baha menjelaskan tafsir dari Qur’an Surat al-Fatir. Surat al-Fatir adalah surah ke-35 dalam al-Qur’an. Surah ini tergolong surah Makkiyah yang terdiri atas 45 ayat.
Menarik di sini, sebelum menerangkan tafsirnya, Gus Baha menyinggung ‘ulum al-qur’an terkait kategori surat Makiyyah dan Madaniyyah. Apa itu makna dari Makiyyah dan Madaniyyah? Gus Baha menjelaskan bahwa yang dinamakan surat Makiyyah itu adalah surat yang diturunkan ketika nabi sebelum hijrah, sementara Madaniyyah adalah surat ketika nabi setelah hijrah.
Kenapa hal ini perlu disampaikan kepada jama’ah, biar jama’ah yang awam tahu konteks di mana al-Qur’an ketika sedang turun, dan siapa saja yang diajak ngobrol oleh Al-Qur’an. Karena hal ini nanti akan berimplikasi bagaimana cara dakwah nabi, siapa saja yang didakwahi oleh nabi ketika itu—mengingat di dalam al-qur’an ada penyebutan nama atau istilah yang sama namun konteks yang dibicarakan berbeda. Termasuk di dalam Surat al-Fatir ini.
Menariknya lagi, Gus Baha menyinggung soal kata kafir. Makna kafir baik di Makkah ataupun di Madinah, itu berbeda pemaknaannya.
GUS BAHA MENGGARISBAWAHI, BAHWA KAFIR DI SINI ADALAH DALAM “BAHASA AGAMA”, KALAU DALAM KONTEKS NEGARA TIDAK ADA ISTILAH KAFIR, YANG ADA ADALAH SEMUA WARGA NEGARA.
Dalam bahasa agama, kafir ada dua, pertama kafir semitik atau ahli kitab (Yahudi-Nasrani). Yang kedua, adalah kafir musyrik (non semitik), tidak punya kitab, penyembah berhala (batu/patung/emas, dll). Kafir ahli kitab, dia masih percaya akan adanya hari kebangkitan, surga, neraka, dan hari hisab (perhitungan amal). Bahkan, surga menjadi klaim mereka (golongan merekalah yang nanti akan menempati). Sementara kafir musyrik adalah sebaliknya, yang anti terhadap hari kebangkitan, tidak beriman adanya surga dan neraka.
Nah, dalam konteks surat Makiyyah (dalam hal ini surat al-Fatir), al-Qur’an tidak membicarakan kafir ahli kitab. Makanya yang dijelaskan adalah terkait penciptaan. Bagaimana Allah menciptakan langit, bumi beserta isinya, dan menciptakan malaikat yang punya sayap. Allah ingin menunjukkan kebesarannya. Dalam konteks ini, yang dihadapi oleh nabi adalah orang-orang yang menyembah patung, emas, berhala buatannya sendiri. Dan al-Qur’an mengkritik itu.
Mendalami kafir ahli kitab, Gus Baha menjelaskan bahwa kafir Ahlul Kitab merupakan kalangan terpelajar dan terdidik. Sehingga ketika menghadapi orang-orang kafir Semitik ini, dialognya lebih mengarah ke percaturan agama dan klaim kebernaran. Karena yang dihadapi adalah kalangan terdidik, sama-sama punya klaim kenabian, surga dan neraka, bahkan al-Qur’an sendiri menyatakan kalau sembelihan mereka juga halal. Gus Baha sembari mengutip ayat wa tha’am al-ladzina uuthu al-kitaba hillun-lakum.
Seperti contoh ketika terjadi perdebatan antara Nabi dengan orang Yahudi. Bagi Yahudi, Muhammad itu bukanlah nabi. Yahudi menyangkal dan tidak percaya kalau Muhammad bisa berbicara dengan Tuhan. Tidak percaya bahwa al-Qur’an adalah kalamullah. Lalu Nabi Muhammad pun menimpali si Yahudi tadi, wakallamallahhu musa taklima. Bukankah Nabi Musa juga bisa berbicara sama Allah?
Dari pengajian malam itu, penulis mencatat bahwa bila kita berbicara terkait bahasa agama, maka, istilah dan pemaknaan tentang arti kafir itu ada, beberapa dalil dan ayat al-Qur’an memang secara jelas menyebut istilah itu. Namun bila kita berbicara dalam konteks Negara, maka tidak ada istilah kafir. Semua warga negara mempunyai hak yang sama di mata hukum dan UUD.
Al-Qur’an secara jelas mengajarkan itu, bagaimana makna kafir dalam konteks Makiyyah dan Madaniyyah mempunyai implikasi dakwah yang berbeda. Perbedaan itu justru dapat mengayakan isi dan kandungan dari kitab suci al-Qur’an. Semakin kita mendalami isi al-Qur’an, kita semakin arif dalam menghadapi perbedaan.
Wallahhu a’lam.
M. Autad An Nasher, penulis bisa disapa melalui akun twitter @autad.
credit : islami.co
Comments
Post a Comment