Dalam Islam, menaati pemimpin merupakan sebuah keharusan
dalam beragama dan bernegara. Kewajiban untuk menaati para pemimpin
berimplikasi pada ketaatan aturan yang dibuat oleh pemerintah. Sebagaimana
halnya mengikuti seorang pemimpin, maka apa yang menjadi turunan dan
manifestasi kebijakannya menjadi sebuah kewajiban juga.
Bagi kelompok jihadis menaati Undang-undang merupakan sebuah
kekafiran turunan. Dalam bahasa mereka adalah “kafir istihlal”. Term ini
diartikan sebagai cara melihat hitam-putih, halal-haram. Pemerintah yang
dianggap menghalalkan yang diharamkan Allah, adalah pemerintah kafir. Maka
mengikuti undang-undang yang diatur oleh pemerintah tersebut, secara otomatis
menjadi kafir.
Dalam pandangan mereka, ketaatan kepada negara yang tidak
mengikuti syariat Islam dalam arti sempit, maka sama saja dengan mengikuti
kekafiran. Pandangan semacam ini jelas keliru dan salah.
Pandangan mereka didasarkan kepada ayat berikut:
أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum)
siapakah yang lebih daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. 5:
50).
Ayat ini dipahami bahwa yang tidak membuat hukum selain
hukum Allah, maka hukum tersebut adalah hukum kafir. Hanya Allah lah yang
absolut dalam membuat hukum untuk manusia. Dalam menjelaskan pemahaman ini,
mereka menyatakan bahwa Hakimiyah (Otoritas Pembuat Hukum) hanya
Allah.
Kaum ekstrimis juga berpendapat bahwa hukum yang dituruti
oleh hawa nafsu dan mengingkari hukum Allah adalah hukum Jahiliyah. Pada
intinya mereka melakukan atribusi “hukum jahiliyah” kepada undang-undang buatan
manusia.
Mereka juga melandaskan argument pada ayat berikut:
إن الحكم الا لله وهو يقص الحق
“Hanya saja hukum itu milik Allah”. (QS. 12:40)
Benarkah pemahaman di atas? Apa dasar atas pemahaman
tersebut? Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata pemahaman di atas yang dilandasi
kepada QS. Al-Maidah: 50 merupakan sebuah legitimasi untuk menyebut
undang-undang sebuah Negara sebagai produk kafir.
Pemahaman di atas tidak sesuai dengan konteks lahirnya ayat
tersebut. Sebagaimana dalam ulum al-Tafsir, untuk menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an, kita memerlukan konteks lahirnya ayat tersebut. Konteks
tersebut di antaranya adalah asbab al-nuzul.
Menukil pendapat al-Zamakhsyari (538 H)
dalam al-Kasyyaf, bahwa ayat tentang “hukum jahiliyah” lahir dari
konteks orang-orang yahudi terdahulu yang melebihkan keturunannya daripada
orang lain. Ayat ini turun karena pertentangan yang terjadi antara kabilah
Quraizhah dan Bani Nadzhir. Di antara mereka saling klaim sebagai kaum terbaik.
Menurut al-Zamakhsyari yang mengutip pendapat al-Thawus
bahwa hukum jahiliyah maksudnya adalah hukum yang melebihkan satu (keturunan)
daripada yang lain. . (al-Zamakhsyari, al-Kasyyaf, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, I, hlm. 116)
Dengan kata lain, ia tidak dilandasi kepada pengetahuan dan
kebijaksanaan atas kesamaan di hadapan hukum. Jika hukum sudah demikian, di
mana ia tidak dilandasi kepada dasar persamaan. Maka hukum sudah dibodohi,
dikangkangi, dijahiliyahi oleh beberapa kelompok untuk kepentingannya sendiri.
Dalam penafsiran ini kita menemukan adanya spirit kesetaraan
di depan hukum dalam pandangan al-Zamakhsyari. Bahkan lebih dari itu, hukum
Islam harus dilandasi kepada nilai-nilai universal seperti kesamaan warga
negara sebagaimana di negara demokrasi.
Pandangan semacam ini sejatinya juga berangkat dari
prespektif nilai-nilai universal hukum Islam seperti Hifzul Nafs agar
setiap orang tidak boleh membunuh atas nama agama apapun. Sebagaimana bahwa
aturan dibuat untuk menciptakan kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah).
Artinya hukum Islam sangat mengatur hidup-kehidupan bersama
antar sesama umat manusia. Dengan kata lain, secara substantif, hukum Islam
sama seperti halnya dengan undang-undang dalam sebuah Negara.
Sebagaimana disebutkan di atas, kaum ekstirimis berpendapat
bahwa negara Thogut seperti Indonesia, mentaati undang-undangnya adalah bagian
dari kekafiran. Pernyataan ini sangat bertentangan dengan ketentuan ketaatan
kepada pemimpin. Dalam QS. An-Nisa: 59 dijelaskan adanya keharusan menaati pemimpin.
Para ulama menafsirkan ayat QS. An-Nisa 59
dengan tafshil. Yaitu ketaatan kepada ulul amri merupakan
bagian dari ketaatan kepada Allah Swt. Ketaatan itu sebuah keharusan,
sebagaimana menurut Jumhur ulama, selama tidak mereka tidak menyerukan kepada
pengingkaran kepada Allah. Sebagaimana ini dinyatakan dalam kaidah:
وجوب طاعة الأمراء في غير معصية الله
“Bahwasanya sebuah keharusan menaati para pemimpin, selama
mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.”
Al-Hafizh Ibn Katsir (744 H) sendiri menyatakan bahwa ayat
ketaatan kepada pemimpin bersifat “am” (secara umum). Ketaatan kepada Ulul
Amri ditafsirkan sebagai ketaatan kepada para ulama dan umara’. Karena
ayat tersebut tidak menyebutkan secara khusus siapa itu umara’ dan ulama.
Dari kaidah ini terlihat bahwa setiap muslim diharuskan
menaati pemimpinnya. Dengan adanya ketentuan ketaatan kepada pemimpin (Ulul
Amri) tersebut maka bertolak belakang jika , berada dalam koridor mereka tidak
menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah.
Dalam konteks Indonesia, undang-undang secara hirarkis
merupakan turunan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak boleh
bertentangan dengan keduanya. Tidak sedikit undang-undang yang mengakomodir
nilai-nilai syariat Islam. Di antara undang-undang tersebut banyak menyangkut
persoalan bab hukum kekeluargaan Islam (ahwal
syakhsiyyah dan mu’amalah) sebagaimana lazim dalam kitab-kitab fikih.
Di antaranya adalah UU Perkawinan No. 1/ 1974
Dengan demikian, tidak benar anggapan sebagian orang bahwa
hukum yang diatur dalam Negara Indonesia adalah produk kafir dan menjadi
kekafiran jika mengikutinya. karena memang dari sananya dan fungsinya,
undang-undang dibuat bukan lagi menyangkut persoalan perbedaan teologis.
fahmi suhudi
Peneliti el-Bukhari institute
credit : https://bincangsyariah.com/kalam/benarkah-menaati-pemerintah-indonesia-menjadi-kafir/
Comments
Post a Comment