Ujung_Pena, Seiring dengan perkembangan jaman, radikalisme tidak lagi
menyasar kelompok dewasa. Namun radikalisme juga menyasar kalangan anak-anak.
Dari pelaku kasus terorisme yang ditangkap telah menunjukkan bahwa usia mereka
sudah semakin muda. Bahkan, dari 9 pelaku yang ditangkap di Poso beberapa saat
lalu, dua diantaranya masih dibawah umur.
Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
jumlah peningkatan pelanggaran terhadap anak pada 2016 lalu mencapai 4.482
kasus. Dari jumlah tersebut, radikalisme menjadi salah satunya. Kemudian anak
yang terpapar radikalisme juga meningkat 42 persen, dari 180 kasus menjadi 256
kasus.
Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari propaganda kelompok
radikal melalui media massa. Berbagai aksi kekerasan yang diunggah di media
sosial, tidak jarang melibatkan anak-anak. Bahkan, di Suriah, sempat beredar
ana-anak yang diduga berasal dari Indonesia, sedang dilatih perang oleh militan
ISIS. Fakta ini tentu sangat mengejutkan. Disisi lain, kelompok radikal juga
telah menyasar lembaga pendidikan untuk menyebarluaskan radikalisme. Di Depok,
Jawa Barat, sempat ditemukan buku bacaan untuk pendidikan anak usia dini (PAUD)
yang berisi tentang jihad dengan cara bom bunuh diri.
Disisi lain, bibit radikalisme secara tidak langsung juga
telah dipertontonkan oleh televisi melalui sinetron setiap hari. Salah satunya
adalah ujaran kebencian. Ujaran kebencian ini kemudian berkembang melalui
sekolah dan keseharian. Dampaknya apa? Mereka mulai tidak senang berteman
dengan pemimpin yang berbeda agama. Mereka juga ikut terpapar paham radikalisme
di media sosial. Bahkan, kasus dugaan penodaan agama yang muncul dalam pilkada
DKI Jakarta, juga membekas dalam benaknya.
Mari kita jaga anak-anak kita, dari propaganda radikalisme.
Jangan dianggap remeh ujaran kebencian yang saat ini terus berkembang. Jika
orang tua membiarkan, anak memang tidak lantas menjadi radikal. Namun, mereka
mempunyai bibit radikal dan bisa berkembang menjadi tindakan radikal, bahkan
ketika remaja bisa berpotensi menjadi teroris.
Kepala BNPT Jenderal Komjen Suhardi Alius dalam sebuah media
online mengatakan, pemahaman radikal bisa diterima mulai dari kelas 5 SD
keatas. Di usia yang relative muda tersebut, mereka bisa membuat sesuatu yang
membahayakan. Bahkan, ketika usia SMA, anak yang sudah terpapar radikalisme
sudah bisa membuat senjata rakitan karena pendidikannya terus berkembang.
Tentu kita tidak ingin generasi penerus bangsa, menjadi
generasi radikal yang bisa berpotensi menjadi teroris. Jika kita tidak ingin
hal itu terjadi, mari mulai saat ini terus aktif memberikan perlindungan kepada
anak-anak kita. Berikanlah perhatian yang cukup, agar anak bisa mendapatkan
kasih sayang. Tanamkan nilai-nilai agama yang tepat, agar anak bisa mengikuti
apa yang diajarkan oleh Nabi Muhamammad SAW. Dan jangan lupa untuk mengajarkan
nilai-nilai luhur budaya Indonesia, agar anak kita bisa menjadi generasi yang
toleran, mau menghargai perbedaan dalam keberagaman.
credit : https://www.kompasiana.com/sri.nuraini/58cdd1752223bd175ced6150/melindungi-anak-dari-bibit-radikalisme
Comments
Post a Comment