Akhir-akhir ini ruang keberagamaan kita kian dilingkupi oleh gelegak dan gelinjang egoisme yang saling membenturkan identitas ke-aku-an. Masing-masing orang maupun kelompok seolah tak segan menghujat, memposisikan diri paling benar, dan menyudutkan yang lain sebagai muara keburukan. Bahkan, dengan berbekal setumpuk data, informasi, dan serangkaian dalil agama, banyak yang tega melemparkan tuduhan kesesatan kepada pihak yang dianggap tak sejalan dengan cara pandang keagamaan yang dianut.
Apa yang dilakukan oleh beberapa figur publik yang menihilkan aspek sakralitas dan historisitas suatu agama yang diyakini oleh pemeluknya sejak berabad lamanya, seperti pernyataan Ustaz Abdul Somad bahwa dalam salib ada jinnya dan dia enggan minta maaf atas kekhilafan yang telah dilakukan, menjadi bukti bahwa naluri egoisme seringkali melingkupi cara pandang keberagamaannya. Hanya karena merujuk pada norma agama yang mengisahkan tentang bangunan ajaran yang tak sesuai dengan teks yang diyakini, dia lalu melabeli simbol atau ajaran agama lain sebagai bentuk deviasi yang harus diluruskan.
Padahal, merujuk pada Allan Menzies dalam buku Sejarah Kepercayaan dan Agama-agama Besar di Dunia bahwa kelahiran suatu agama yang dipeluk oleh masing-masing umatnya tidak berdiri sendiri. Setiap ajaran dan ritualnya dipengaruhi oleh agama-agama sebelumnya.
Di antara buktinya adalah kewajiban ibadah dan ritual lain yang dilakukan oleh umat Islam yang menginduk kepada ritus umat sebelumnya. Lalu, ketika masing-masing agama saling memberikan energi dan atmosfer peribadatan dalam sistem kepercayaannya, mengapa begitu mudah terjebak dalam logika puritanisme yang hanya menempatkan ajaran agamanya paling benar dan sekaligus menjadikan ajaran agama lain adalah salah?
Teologi Partikularisme
Disadari atau tidak, sistem pembelajaran agama yang berlangsung di berbagai lembaga pendidikan kita dari level bawah hingga perguruan tinggi lebih bercorak partikularistik. Merujuk pada pikiran Mun’im Sirry dalam Belajar Agama atau Belajar tentang Agama, pola pengajaran agamanya (teaching religion) lebih mengedepankan dakwah dan indoktrinasi dengan semata-mata merujuk kepada kitab suci—semisal al-Qur’an dan Hadits—dengan alasan purifikasi dan filterisasi terhadap ragam pengetahuan yang dianggap bertentangan dengan spirit skiptualisnya.
Dampaknya, setiap anak didik hanya dibiasakan pada kondisi psikologis bagaimana memikirkan agamanya sendiri agar lebih kuat dibanding yang lain. Hal ini sebagaimana tampak dalam berbagai yel-yel bernuansa glorifikatoris seperti ungkapan “al-Islam ya’lu wa la yu’la ‘alaihi”. Tidak peduli apakah dalam prosesnya kadang berhadapan dengan buhulan egoisme yang tak jarang mengancam atau menyinggung perasaan pihak lain.
Selain itu, yang tak kalah mirisnya adalah ketika ada sebuah musibah yang menimpa pihak lain, sekelompok orang seringkali mengumpatnya dengan diksi-diksi fanatisme buta bahwa kejadian itu akibat tidak menjalankan ajaran agama seperti yang dianutnya. Bahkan, ketika hendak membantu pihak lain yang sedang mengalami penderitaan, seringkali pula mereka terjebak dengan pertanyaan partikular; apakah satu agama, satu keyakinan, satu aliran, dan semacamnya.
Padahal, penderitaan dan musibah yang terjadi pada setiap orang adalah soal kemanusiaan yang harus diatasi bersama-sama tanpa harus melihat apa agamanya dan keyakinannya. Namun, teologi partikular cukup mendarah daging dalam kehidupan sehingga teramat susah untuk beranjak pada kerja karitatif yang berspirit tranformatif dan lintas batas.
Secara sosiologis, sikap dan pandangan partikularisme ini akan memicu terjadinya konflik di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang majemuk dan beragam. Selain itu, logika partikularisme ini akan mengancam sendi-sendi kebangsaan yang selama ini sudah dibalut oleh integrasi sosial, nasional, dan global.
Maka, teologi partikularisme semacam ini tentu harus dibenahi oleh setiap pemeluk agama agar tidak menimbulkan kekisruhan sosial yang akan merusak spirit perdamaian antaragama. Utamanya para pemuka agama yang selama ini aktif sebagai penceramah dan dipercaya sebagai panutan dan rujukan dalam kehidupan masyarakat.
Tak terkecuali lembaga pendidikan perlu melakukan perubahan paradigma dalam mentransformasikan agama. Dengan cara apa? Sekali lagi, meminjam istilah Mun’im Sirry, “menciptakan pola pengajaran tentang agama (teaching about religion) yang menekankan kaidah-kaidah ilmiah dan rasional dalam merespons permasalahan yang dihadapi”. Dalam hal ini, basis pengajaran ini tidak sekadar terpaku kepada al-Qur’an dan Sunnah, melainkan menggunakan epistemologi keagamaan lain seperti fiqh dan ushul fiqh, ilmu mantiq (logika), ilmu tafsir dan kritik sanad, maupun ilmu-ilmu sosial dan kealaman sebagai metode untuk memperkaya pemahaman tentang keagamaan.
Reaktualisasi dan Dialog
Dari pola pengajaran tentang agama (teaching about religion) yang komprehensif akan tercipta nalar berfikir yang lebih reflektif dan kritis dalam memahami ajaran agama. Setiap orang yang dibiasakan merenung dan berfikir ulang tentang bangunan pengetahuan keagamaan yang diperoleh di berbagai media dan tempat, akan semakin arif dan obyektif dalam memposisikan diri dalam ceruk keragaman.
Selain itu, ketika berhadapan dengan perbedaan (ikhtilaf), setiap orang akan belajar untuk memahami kebenaran yang dimiliki pihak lain sekaligus mengoreksi diri dengan menambah wawasan keagamaan yang mencerahkan.
Cara ini menjadi jalan lempang bagi setiap orang untuk melakukan penyegaran dan reaktualisasi terhadap nilai-nilai keagamaan yang satu sisi berdimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Merujuk pada pemikiran Alwi Shihab dalam Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, sikap reaktualisasi ini menjadi modal sosial untuk membangun peradaban agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamien).
Namun demikian, dalam melakukan reaktualisasi tentu harus disertai dengan spirit dialog agar setiap orang bisa saling mengisi dan bertitik temu. Terutama ketika membahas persoalan kebangsaan yang menjadi “payung suci” bagi semua elemen rakyat Indonesia. Sebab, kebangsaan (wathaniyah) merupakan sebuah altar kebersamaan di mana setiap pemeluk agama hidup dalam rajutannya.
Mustahil kiranya ikatan kebangsaan akan menjadi kuat bila di dalamnya masih disesaki dengan berbagai friksi keberagamaan yang antara satu dengan lainnya saling menampilkan wajah absolutismenya. Apalagi masing-masing umat beragama melakukan penekanan yang berlebihan pada teks-teks kitab suci yang eksklusif dan menganggap ajarannya yang lebih bisa memberikan keselamatan di dunia maupun akhirat.
Karena itu, diperlukan kedewasaan, kearifan, dan toleransi (tasamuh) dalam menempatkan cara pandang keagamaan demi menyikapi berbagai persoalan. Untuk menuju sikap seperti itu, reaktualisasi nilai-nilai keagamaan yang humanis dan dialog yang transformatif adalah pintu masuk yang perlu dilestarikan dengan baik. Setidaknya dengan cara ini kita bisa meretas gelinjang egoisme dalam beragama yang kerap melahirkan teologi partikularisme.
credit : geotimes.co.id
Comments
Post a Comment