Oleh M.
Yusuf Amin
Ujung_Pena, Beberapa
peristiwa nasional dua tahun terakhir, seperti pembubaran Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), aksi 212, dan pemilu presiden dan wakil presiden 2019
menjadikan tema ‘agama dan negara’ menarik untuk disimak.
Perdebatan
tentang relasi agama dan negara telah begitu lama berlangsung, sama lamanya
dengan usia bangsa ini. Ijtihad dan tirakat para founding fathers kita
pada akhirnya berhasil merumuskan hubungan yang tepat antara agama dan negara
dalam bingkai NKRI pada asas simbiosis-mutualistik dengan Pancasila sebagai
dasarnya.
Seturut
Nurcholis Madjid (1994: 1) agama dan negara dalam Islam, meskipun tidak
terpisahkan, namun tetap dibedakan. Dan pancasila telah berhasil
mendamaikan—untuk tidak menyebut menyatukan—keduanya dalam hubungan yang
harmonis-sinergis. Hasilnya, heteregonitas budaya, suku, dan agama dapat rukun
terjaga.
Meski
begitu, tidak sedikit kelompok yang mengancam dan ingin menggoyang ketentraman
di Indonesia. Ada yang secara terang-terangan ingin mengganti dasar negara
dengan sistem khilafah, seperti HTI; ada juga yang bersembunyi di balik label
‘NKRI bersyariah, sebagaimana yang cuatkan Habib Rizieq pada aksi 212 yang
pertama, 2016 silam.
Pada
aksi 212 tahun 2017 sebutan NKRI bersyariah kembali digaungkan Rizieq dari
tempat pelariannya. Meski disampaikan melalui video jarak jauh di tengah aksi
212 berlangsung, ‘jualan’ Habib Rizieq berlabel NKRI bersyariah cukup mengusik
publik.
Tidak
heran jika Denny J.A merespon pernyataan Rizieq tersebut melalui artikelnya
berjudul NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Manusiawi? Dengan
membeberkan sejumlah data ilmiah, Denny J.A mengajak kita untuk berpikir dan
merenungi keadaan Indonesia yang memiliki indeks internasional negara islami
terpuruk, untuk selanjutnya menguatkan pijakan dan bersama-sama bergerak
memperbaikinya.
Apa yang
dimaksud NKRI bersyariah masih terlalu buram untuk dipahami. Alih-alih kita
mendapatkan penjelasan yang gamblang, Rizieq hanya menyampaikan penjelasan yang
sangat singkat, yang intinya adalah tuntutan untuk kembali ke Pancasila
sebagaimana termuat dalam Piagam Jakarta.
Kita
menjadi mafhum ke mana arah NKRI bersyariah yang diinginkan Rizieq. Kita tahu,
hanya terdapat satu perbedaan antara isi Piagam Jakarta dengan Pancasila
sekarang, yakni pada sila pertamanya. Piagam Jakarta memuat sila pertama
Pancasila yang berbunyi: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Ajakan—yang
kemudian menjadi gerakan—kembali ke Piagam Jakarta sebenarnya adalah ekspresi
dari kelompok Islam konservatif yang telah berulang didengungkan dan
diperjuangkan. Sebagian bahkan mengekpresikannya dalam pemberontakan
bersenjata, sebagaimana DI/TII/NII.
Jadi,
sangat mungkin dibalik label NKRI bersyariah sebenarnya tersimpan agenda besar
yang bertentangan dengan konstitusi. Barangkali dengan menggunakan kemasan NKRI
bersyariah—dan bukan khilafah—terkesan lebih aman dan bisa diterima oleh
masyarakat awam.
Politisasi
agama (Islam), dengan menggunakan idiom dan simbol agama untuk kepentingan
politik memang terbukti ampuh menarik simpatik. Dan sebagaimana Gus Dur pernah
menyinggung, siapa yang mencoba memusuhi atau menentang gerakan semacam itu
maka akan dituduh melawan Islam.
Meskipun
demikian, kita tak bisa membiarkan politisasi agama terus berlangsung dan
mengancam sendi-sendi kerukunan dan keutuhan bangsa. Upaya penyadaran tentang
motif-motif politik tersebut mesti intens dilakukan, salah satunya dengan
memberikan pandangan yang komprehensip tentang masalah-masalah yang dipolitisasi,
dalam hal ini relasi antara negara dan agama.
Harmonisasi
Agama dan Negara
Dalam
khazanah Islam, kita paham, Al-Qur’an dan hadis yang menjadi rujukan utamanya,
sangat terbatas berbicara tentang negara. Konsekuensi dari hal tersebut jelas,
yakni lahirnya fleksibilitas pemahaman.
Setidaknya
ada tiga konsep negara mainstream yang kita kenal dalam tradisi Islam. Pertama, konsep
negara islamiyyah ‘ammah/kekhalifahan mondial yang didukung organisasi
seperti Ikhwanul Muslimin, Wahabi-Salafi, Syiah dan Ahmadiyah. Kedua, konsep
negara sekular sebagaimana digagas Ashar Ali Engineer dan Ali Abdu Raziq.
Dan ketiga, konsep negara Islami yang pernah dicetuskan oleh Abdullah
Na’im Ahmed dan M. Syahrur.
Konsep
negara yang disebut terakhir dan perbandingannya dengan dua konsep negara yang
lain telah banyak dikupas dalam disertasi Mukhotob Hamzah, Rektor Universitas
Sains al-Qur’an Wonosobo, yang dibukukan dengan judul Agama dan Negara:
Diskursus dan Praktik Politik Islam (2018).
Mengutip
pendapat An-Na’im, negara Islami adalah negara yang memberikan solusi hubungan
syariat dengan negera melalui public reason (parlemen). Berbeda
dengan Arab Saudi yang menerapkan konsep negara Islam, dalam negara Islami
syariat diperjuangkan melalui proses legislasi dan sistem penegakannya, dan
bukan diterapkan secara paksa.
Apa yang
digambarkan An-Na’im tersebut, setidaknya dapat kita temukan signifikansinya di
Indonesia. Seturut Mukhotob Hamzah (2018: 197), Indonesia dengan konsep negara
demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa di negara mayoritas muslim
terbesar ternyata menjadi acuan banyak negara yang menginginkan hidup tenang
dengan mayoritas muslim di dalamnya. Indonesia telah berhasil mendekatkan Islam
dengan demokrasi yang darinya melahirkan legislasi syariah yang banyak
menguntungkan kaum muslim, tanpa mencederai agama lain.
Di
Indonesia, Islam telah menjadi sumber keadilan, egalitarianisme, dan
inklusivisme. Substansi syariat Islam telah terserap dalam tata aturan dan
perundang-undangan. Bahkan telah terbit pula berbagai produk legislasi syariah,
seperti aturan penyelenggaraan ibadah haji, Undang-undang zakat, UU Perkawinan,
perbankan syariah, makanan halal dan lain sebagainya. Semua itu adalah buah
dari demokrasi religius yang diterapkan di Indonesia, atau wujud negara Islami
dalam perspektif An-Na’im.
Dengan
konsep negara Islami, relasi agama dan negara dapat berjalan harmonis tanpa
merampas hak dan menyudutkan umat non-muslim. Pancasila mengandung spirit
negara Islami itu. Ia ibarat kalimah sawa,meminjam istilah Nurcholis
Madjid, titik pertemuan agama-agama untuk mewujudkan kehidupan sosial-politik
bersama.
Bukankah
agama dan negara memiliki tujuan yang sama, yakni melindungi hak dasar manusia
dan mewujudkan kesejahteraan tanpa memandang perbedaan? Dan yang terpenting
dari sebuah negara bukanlah kemasannya, semisal Negara Islam atau NKRI bersyariah,
melainkan internalisasi nilai-nilai keagamaan di dalamnya. Jadi, yang perlu
dilakukan adalah terus merawat Pancasila yang mengandung spirit negara Islami,
modal bagi lahirnya kebijakan-kebijakan yang adil dan manusiawi.
Penulis
adalah dosen di Universitas Sains al-Qur’an Wonosobo
Comments
Post a Comment