Ujung_Pena, Mencintai negara sebagian
dari Iman, ungkapan ini diyakini oleh sebagian umat Muslim sebagai hadis Nabi.
Benarkah demikian? Mari kita berdialektika bagaimana ungkapan yang diyakini sebagai
hadis ini tertanam dalam pemikiran masyarakat, khususnya Indonesia.
Urusan mencintai negara (hubbul wathan) adalah bagian yang paling
esensial dari kampanye nasionalisme. Nasionalisme tidak sekadar menjadi pembicaraan
dan ideologi, tapi sejak berdirinya negaranegara, nasionalisme juga terwujud
didalam sistem administratif negara. Warga Negara Indonesia sudah pasti
berkewarganegaraan Indonesia jika ia lahir di negara ini, dan kedua orangtua
berkewarganegaraan yang sama, dalam hukum kewarganegaraan lazim disebut ius
soli. Sementara yang mengikuti keturunan asal orang tua, meski tidak lahir
tidak di negeri asalnya, disebut ius
sanguinis.
Bahkan, sebelum ada
prinsip-prinsip administratif di atas, nasionalisme sebenarnya sudah ada secara
kultural. Ikatan seorang dengan negeri asalnya adalah bagian dari bentuk-bentuk
institusi sosial. Institusi sosial ini akan terus menguat, jika ada semangat
yang sama untuk maju atau menyelesaikan sebuah masalah. Masyarakat yang
notabene-nya santri misalnya,
sebelum kemerdekaan mereka
sudah mendengungdengungkan Hubbul wathan
minal Iman sebagai jargon melawan penjajahan.
K.H. Zainal Mustafa dari
Tasikmalaya misalnya, menjadikan ini sebagai prinsip bagi para santrinya untuk
melawan tindak tanduk penjajah. K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang, menggubah
ungkapan ini dalam syair yang disuarakan untuk menyemangati rakyat melawan
penjajah, pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya (kemudian dijadikan Hari
Pahlawan).
Menyoal
Hubbul wathan minal Iman
As-Sakhawi dalam al-Maqāshidul Hasanah menyatakan bahwa
ungkapan ini bukanlah hadis.
Tidak hanya Sakhawi, ungkapannya
ini disepakati oleh seluruh ulama, di antaranya al-‘Ajluni dalam karyanya yang
berjudul Kasyful Khafā, dan al-Albani
dalam Silsilah al-Ahādits al-Mawdhu’ah.
Mula al-Qāri dalam al-Asrār al-Marfu’ah
menyitir sejumlah pendapat untuk menjelaskan redaksi ini, mulai dari perkataan
kalau itu adalah ungkapan Nabi Isa As., perkataan sebagian ulama salaf, hingga
mereka yang tidak memberikan pendapat apa-apa soal ungkapan ini.
Masih adanya ragam penilaian
menunjukkan setidaknya dua hal penting. Pertama, dengan segala perdebatan yang
ada soal otensitisitas, ungkapan ini nampaknya sudah populer sejak zaman
dahulu. Bahwa tidak menutup kemungkinan kalau orang beriman juga mencintai
tanah kelahirannya.
Justru, lewat kecintaan
tanah kelahiran persatuan antara orang beriman semakin kuat, karena mereka juga
terikat oleh ikatan tanah kelahiran, meski mungkin keyakinan keagamaan mereka
berbeda-beda.
Kedua, para ulama melihat
ungkapan ini tidak terlalu bertentangan dengan dasar ajaran agama. Rupanya ada
sejumlah hadis yang mengisyaratkan tentang kecintaan orang beriman pada tanah
airnya.
Misalnya hadis yang
diriwayatkan Ibn Abi Hatim:
“Dari
al-Dhahhāk, beliau berkata: ketika Rasulullah Saw. keluar dari kota Mekah, lalu
sampai di al-Juhfah (tempat diantara Mekkah dan Madinah), beliau rindu dengan
Mekah, maka Allah Swt. Menurunkan ayat: “… sungguh (Allah) akan mengembalikanmu
ke tempat kembali (yaitu ke Mekkah).”
Hadis yang diriwayatkan
Ibn Abi Hātim al-Rāzi didalam tafsirnya ini, diamini oleh banyak penafsir al- Qur’an,
seperti al-Thabathabā’i, Ibn ‘Asyur, dan Sayyid Quthub sebagaimana yang
dijelaskan Quraish Shihab di dalam tafsir al-Mishbah.
Fenomena yang terjadi
saat ini, sebenarnya menunjukkan kalau mencintai negara itu punya andil besar,
dalam menjaga keberlangsungan kehidupan dan pelaksanaan ajaran agama, yang
didasari oleh keimanan.
Pelajaran dari kearifan
para tokoh bangsa ketika menjadikan ungkapan ini (boleh jadi diyakini sebagai hadis),
adalah sarana meningkatkan semangat juang rakyat, harus kita teladani dan ambil
semangatnya pada hari ini.
Memakmurkan dan mengelola
muka bumi ini (termasuk kampung halaman) adalah bagian dari ajaran Islam, yaitu
mensyukuri pemberian nikmat hidup di dunia ini, dengan bekerja mencari nafkah
yang halal. Memang,tanah air tidak hanya soal tanah kelahiran, atau kampung. Mula
al-Qari misalnya menambahkan kalau al-wathan juga memiliki tafsiran makna
akhirat. Karena kita semua akan kembali ke “kampung” akhirat, maka pantaslah
kalau kita merindukannya.
Ala Kulli Hāl, perdebatan
apakah ungkapan ini hadis atau bukan tidak menjadi inti permasalahan. Meskipun
bukan hadis, secara makna rupanya ia tidak bertentangan dengan semangat ajaran
Islam untuk memakmurkan dan menegakkan keadilan bumi yang telah Allah ciptakan
bagi manusia.
Maka, ingin saya tutup
paragraf ini dengan ungkapan al-‘Amiri, seorang ulama hadis ketika
menjelaskan kedudukan jargon hubb
al-wathan ini:
copyright : Buku Saku Fikih Nasionalisme, Penulis Yunal Isra, dkk (el-bukhari institute)
Comments
Post a Comment