MENCINTAI NEGARA...!!!! HADITS ATAU BUKAN...???

Ujung_Pena, Mencintai negara sebagian dari Iman, ungkapan ini diyakini oleh sebagian umat Muslim sebagai hadis Nabi. Benarkah demikian? Mari kita berdialektika bagaimana ungkapan yang diyakini sebagai hadis ini tertanam dalam pemikiran masyarakat, khususnya Indonesia.

Urusan mencintai negara (hubbul wathan) adalah bagian yang paling esensial dari kampanye nasionalisme. Nasionalisme tidak sekadar menjadi pembicaraan dan ideologi, tapi sejak berdirinya negaranegara, nasionalisme juga terwujud didalam sistem administratif negara. Warga Negara Indonesia sudah pasti berkewarganegaraan Indonesia jika ia lahir di negara ini, dan kedua orangtua berkewarganegaraan yang sama, dalam hukum kewarganegaraan lazim disebut ius soli. Sementara yang mengikuti keturunan asal orang tua, meski tidak lahir tidak di negeri asalnya, disebut ius sanguinis.

Bahkan, sebelum ada prinsip-prinsip administratif di atas, nasionalisme sebenarnya sudah ada secara kultural. Ikatan seorang dengan negeri asalnya adalah bagian dari bentuk-bentuk institusi sosial. Institusi sosial ini akan terus menguat, jika ada semangat yang sama untuk maju atau menyelesaikan sebuah masalah. Masyarakat yang notabene-nya santri misalnya,
sebelum kemerdekaan mereka sudah mendengungdengungkan Hubbul wathan minal Iman sebagai jargon melawan penjajahan.

K.H. Zainal Mustafa dari Tasikmalaya misalnya, menjadikan ini sebagai prinsip bagi para santrinya untuk melawan tindak tanduk penjajah. K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang, menggubah ungkapan ini dalam syair yang disuarakan untuk menyemangati rakyat melawan penjajah, pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya (kemudian dijadikan Hari Pahlawan).

Menyoal Hubbul wathan minal Iman

As-Sakhawi dalam al-Maqāshidul Hasanah menyatakan bahwa ungkapan ini bukanlah hadis.
Tidak hanya Sakhawi, ungkapannya ini disepakati oleh seluruh ulama, di antaranya al-‘Ajluni dalam karyanya yang berjudul Kasyful Khafā, dan al-Albani dalam Silsilah al-Ahādits al-Mawdhu’ah. Mula al-Qāri dalam al-Asrār al-Marfu’ah menyitir sejumlah pendapat untuk menjelaskan redaksi ini, mulai dari perkataan kalau itu adalah ungkapan Nabi Isa As., perkataan sebagian ulama salaf, hingga mereka yang tidak memberikan pendapat apa-apa soal ungkapan ini.

Masih adanya ragam penilaian menunjukkan setidaknya dua hal penting. Pertama, dengan segala perdebatan yang ada soal otensitisitas, ungkapan ini nampaknya sudah populer sejak zaman dahulu. Bahwa tidak menutup kemungkinan kalau orang beriman juga mencintai tanah kelahirannya.

Justru, lewat kecintaan tanah kelahiran persatuan antara orang beriman semakin kuat, karena mereka juga terikat oleh ikatan tanah kelahiran, meski mungkin keyakinan keagamaan mereka berbeda-beda.

Kedua, para ulama melihat ungkapan ini tidak terlalu bertentangan dengan dasar ajaran agama. Rupanya ada sejumlah hadis yang mengisyaratkan tentang kecintaan orang beriman pada tanah airnya.

Misalnya hadis yang diriwayatkan Ibn Abi Hatim:





“Dari al-Dhahhāk, beliau berkata: ketika Rasulullah Saw. keluar dari kota Mekah, lalu sampai di al-Juhfah (tempat diantara Mekkah dan Madinah), beliau rindu dengan Mekah, maka Allah Swt. Menurunkan ayat: “… sungguh (Allah) akan mengembalikanmu ke tempat kembali (yaitu ke Mekkah).”

Hadis yang diriwayatkan Ibn Abi Hātim al-Rāzi didalam tafsirnya ini, diamini oleh banyak penafsir al- Qur’an, seperti al-Thabathabā’i, Ibn ‘Asyur, dan Sayyid Quthub sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab di dalam tafsir al-Mishbah.

Fenomena yang terjadi saat ini, sebenarnya menunjukkan kalau mencintai negara itu punya andil besar, dalam menjaga keberlangsungan kehidupan dan pelaksanaan ajaran agama, yang didasari oleh keimanan.

Pelajaran dari kearifan para tokoh bangsa ketika menjadikan ungkapan ini (boleh jadi diyakini sebagai hadis), adalah sarana meningkatkan semangat juang rakyat, harus kita teladani dan ambil semangatnya pada hari ini.

Memakmurkan dan mengelola muka bumi ini (termasuk kampung halaman) adalah bagian dari ajaran Islam, yaitu mensyukuri pemberian nikmat hidup di dunia ini, dengan bekerja mencari nafkah yang halal. Memang,tanah air tidak hanya soal tanah kelahiran, atau kampung. Mula al-Qari misalnya menambahkan kalau al-wathan juga memiliki tafsiran makna akhirat. Karena kita semua akan kembali ke “kampung” akhirat, maka pantaslah kalau kita merindukannya.

Ala Kulli Hāl, perdebatan apakah ungkapan ini hadis atau bukan tidak menjadi inti permasalahan. Meskipun bukan hadis, secara makna rupanya ia tidak bertentangan dengan semangat ajaran Islam untuk memakmurkan dan menegakkan keadilan bumi yang telah Allah ciptakan bagi manusia.

Maka, ingin saya tutup paragraf ini dengan ungkapan al-‘Amiri, seorang ulama hadis ketika
menjelaskan kedudukan jargon hubb al-wathan ini:



“Jika engkau ingin mengetahui tentang (cara pandang) seseorang, maka lihatlah bagaimana ia merindukan tanah kelahirannya, kecintaanya kepada handai taulannya, dan tangisannya terhadap apa yang telah dilakukannya pada masa lalu.”



copyright : Buku Saku Fikih Nasionalisme, Penulis Yunal Isra, dkk (el-bukhari institute)

Comments