Ujung_Pena, Hampir setiap umat Islam yang
terafiliasi dengan Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Daulah Islamiyyah
(ISIS), al-Qaeda yang berada di Indonesia atau bahkan di negara lain meyakini
bahwa salah satu faktor pemecah belah umat Islam itu adalah gagasan
nasionalisme. Alasan mereka biasanya nasionalisme itu adalah gagasan yang
diwacanakan oleh orang-orang Barat, bukan dari ajaran Islam. Selain itu,
menurut mereka, nasionalisme itu adalah wawasan sempit yang hanya mementingkan bangsa
sendiri tanpa memikirkan bangsa lain yang juga banyak penduduknya beragama
Islam, seperti misalnya Palestina.
Apalagi mereka beranggapan
bahwa nasionalisme itu tidak ada dalilnya dalam Islam. Benarkah anggapan mereka
itu? Untuk mengetahui anggapan mereka benar atau tidak, paling tidak kita harus
menjawab pertanyaan berikut ini. Sebenarnya apa defenisi nasionalisme? Benarkah
Islam melarang gagasan yang datang dari luar Islam? Apakah benar nasionalisme
tidak ada landasannya dalam sumber-sumber Islam, seperti Alquran dan as-Sunnah?
Mari kita jawab pertanyaan ini satu persatu.
Pertama, kita tentu selalu akan termakan dengan pemahaman yang menyesatkan mengenai nasionalisme bila kita sendiri tidak mengetahui apa itu nasionalisme. Ada dua definisi yang dicantumkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengenai arti nasionalisme. Definisi nasiolisme yang pertama menyatakan bahwa nasionalisme itu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Bukankah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam mencintai Mekah sebagai tanah kelahirannya melebihi dari yang lain? Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam melalui riwayat Sahabat Ibnu Abbas:
Artinya: Orang yang mati terbunuh untuk mempertahankan hartanya itu mati
syahid. Begitupun orang yang membela agama, mempertahankan nyawa, serta
keluarga dan penduduknya juga dikategorikan mati syahid bila sampai terbunuh
(HR Tirmidzi).
Kedua,
pemaparan mengenai definisi nasionalisme di atas menunjukkan bahwa nasionalisme
adalah sesuatu yang baik, sekalipun misalnya gagasannya datang dari Barat.
Sejarah pun mencatat bahwa beberapa syariat Islam yang Nabi tetapkan juga awalnya
terinspirasi dari masyarakat non-Muslim di sekitar Nabi. Misalnya syariat puasa
10 Muharram atau dikenal dengan puasa ‘Asyura. Puasa ‘Asyura yang Nabi lakukan
itu terinspirasi dari sekelompok orang Yahudi sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas:
Artinya: Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan
menjumpai komunitas Yahudi. Ternyata, waktu itu mereka sedang puasa ‘Asyura
(puasa tanggal 10 Muharam), karena Nabi Musa diselamatkan oleh Allah dari
kejaran Firaun pada hari tersebut, dan justru menenggelamkan Firaun di sungai Nil.
“Kalau begitu, kami juga lebih berhak itu puasa di hari tersebut,” kata Nabi
pada umat Yahudi. Akhirnya Nabi puasa ‘Asyura dan menyuruh para sahabatnya
untuk berpuasa juga.” (HR Ibn Majah)
Ketiga, beberapa dalil
as-Sunnah di atas mempertegas bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang
berbahaya bagi umat Islam. Banyak dalil-dalil agama yang menganjurkan setiap
umat Islam harus memiliki sikap nasionalisme pada bangsanya. Apalagi sering
kita dengar bahwa mencintai tanah air itu bagian dari iman, Hubbul wathan minal
Iman. Menurut Syekh Mula al-Qari di dalam kitab al-Asrar al-Marfu’ah, ada yang
berpendapat bahwa ungkapan ini merupakan perkataan ulama salaf. Artinya, mencintai
tanah air juga diajarakan oleh para ulama salaf (salafus shalih). Oleh karena
itu, tidak diragukan lagi bahwa anggapan umat Islam yang terafiliasi dengan
Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Daulah Islamiyyah (ISIS), al-Qaeda tidak
benar dan sesat menyesatkan. Wallahu a’lam.
copyright : Buku Saku Fikih Nasionalisme, Penulis Yunal Isra, dkk (el-bukhari institute)
Comments
Post a Comment