Indonesia Tak Butuh Ideologi Asing

Indonesia Tak Butuh Ideologi Asing
Oleh: Henny Mono*

Bagi Indonesia, ideologi Pancasila sudah final. Kita tidak membutuhkan lagi ideologi-ideologi lain, apa pun alasan rasionalitasnya. Sebab ideologi Pancasila adalah ideologi yang sudah teruji sejarah sejak Republik ini didirikan. Ideologi Pancasila mampu menjadi perekat atas kebhinekaan falsafah hidup warga bangsa, sistem politik dan ekonomi kerakyatan, perilaku sosial-budaya, maupun agama/kepercayaan.
Memang patut diakui, dalam aplikasinya pada kehidupan berbangsa dan bernegara, ideologi Pancasila mengalami pasang surut. Sebagai ideologi terbuka, norma nilai yang hidup dan berada di dalamnya sangat mudah dipengaruhi oleh sistem nilai kehidupan dari luar, seperti nilai kehidupan kapitalis-liberalis, komunias-sosialis, termasuk nilai kehidupan yang agamis.
Kondisi psikologis ideologi Pancasila yang demikian itu, bukanlah suatu kelemahan, namun sebaliknya merupakan wujud elastisitas. Atau dapat disebut, kelenturan dari sebuah ideologi yang mampu beradaptasi dengan dinamika nilai yang hidup di dalam masyarakat dunia. Maka dari itu, dalam alur pergerakan sejarah negeri ini kita bisa mencatat, tatkala bakal terjadi pergerakan sosial ke “kiri’ atau ke “kanan” secara ekstrem, selalu terdapat perlawanan dari rakyat agar negara ini kembali kepada ideologi Pancasila.
Saat ini di Indonesia setidaknya terdapat 7 (tujuh) aliran yang dapat dikatagorikan sebagai gerakan Islam transnasional. Sebut saja, antara lain Syiah, Ahmadiyah, Ikhwanul Muslimin, Salafi/Wahabi, Hizbut Tahrir, dan Jamaah Tabligh. Selain bergerak di bidang dakwah keagamaan, sebagian di antaranya memiliki kecenderungan bergerak di wilayah politik praktis. Dan, di antara mereka pun tak jarang terjadi benturan-benturan yang sifatnya dialogis, termasuk dengan ormas keagamaan lokal. Sedangkan di sudut lain, terdapat pula gerakan-gerakan sosial yang beraliran kapitalis-liberalis maupun komunias-sosialis.
Secara alamiah, keseluruhan aliran itu “bertarung” dalam dinamika kehidupan sosial berbangsa. Saling berkompetisi, saling mempengaruhi, bahkan saling “menyerang” satu sama lain, guna merebut posisi. Dan, ditingkahi kemajuan teknologi komunikasi seperti saat ini, menyebabkan “pertarungan” antar-aliran itu seakan telah menemukan medan pertempuran yang pas. Pada gilirannya, lahirlah berbagai ragam pola perilaku seperti, saling mengejek atau saling memfitnah satu sama lain, dengan target sosial bahwa kelompoknyalah sebagai yang terbaik.
Dalam kondisi sosial yang demikian itu, secara sadar atau tidak sadar, tak sedikit salah satu di antara mereka yang merasa paling moralis dan agamis. Tapi kemudian justru bertindak di luar koridor nilai moral yang diyakininya. Tanpa sadar mereka terjebak pada politik identitas dan budaya pop. Mereka, para pemuka dan tokoh masyarakat itu, seolah berada dalam pusaran antara nilai keiklasan dan perbuatan riya’. Perilaku yang merasa diri paling hebat (ujub) dipertontonkan setiap hari tanpa jeda melalui berbagai media sosial, diselingi sikap menjelek-jelekan komunitas lain dengan perasaan hasut.
entang gagasan penggantian ideologi, kita bisa bercermin pada peristiwa yang terjadi di Republik Mesir, tatkala ada sekelompok masyarakat yang ingin mengubah ideologi dan dasar negara. Kala itu, setelah sekitar setahun berkuasa, Presiden Mursi dari kubu Ikhwanul Muslimin, yang terpilih secara demokratis, dinilai gagal menjalankan roda pemerintahan, gagal menciptakan tuntutan persatuan nasional. Ia, yang telah mengganti ideologi negara menjadi negara berbasis syariah, ternyata tidak serta-merta memperbaiki nasib dan kesejahteraan rakyat.
Militer terpaksa melakukan kudeta setelah jutaan warga Mesir turun ke jalan meminta Presiden Mursi mundur. Pemicunya, selain ketidakmampuan pemerintah baru mengembalikan kondisi perekonomian yang semakin memburuk, Pemerintahan baru tersebut juga dinilai kalangan masyarakat setempat, sebagai pemerintahan yang sektarian. Kehidupan masyarakat Mesir yang terbiasa hidup damai dalam naungan sistem pemerintah demokratis,  menghormati keragaman tata budaya sosial dan keagamaan, terbukti merasa tidak cocok dalam sistem politik identitas.
Militer Mesir saat itu mencemaskan kebijakan Presiden Mursi yang mereformasi sistem politik dan ideologi negara. Dikhawatirkan dapat memicu konflik sektarian. Apalagi, enam bulan pasca ditetapkan sebagai Presiden, pada Desember 2012, Mursi mengesahkan Konstitusi Baru yang berhaluan Islam. Namun, melalui Majelis 50, suatu majelis yang dibentuk presiden sementara Mesir setelah lengsernya Mursi, menghapus pasal yang bernafaskan Islam tersebut. Oleh sebab pasal-pasal itu terbukti telah memicu bentrok massa, antara kubu yang pro dan kontra, serta menyebabkan timbulnya kerusakan sosial dan korban jiwa.
Di antara pasal yang dihapus dalam Konstitusi Baru tersebut, antara lain, Pasal 2, isinya: “Islam adalah agama resmi negara, Arab ialah bahasa resmi, dan prinsip-prinsip syariah merupakan sumber utama konstitusi”, dan Pasal 219 yang berbunyi: “Prinsip-prinsip syariah Islam mencakup intepretasi yang diterima secara umum, serta sumber-sumber yang dikenal umat dalam mazhab sunni”.
 Kita semua, tentunya tidak ingin negeri ini kacau balau, hanya karena menuruti hawa nafsu segelincir manusia yang ingin berkuasa. Biarkanlah negeri ini bertumbuh dan berkembang menurut kodratnya, sesuai dengan cita-cita ulama yang ikut membidani kelahirannya. Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk negara ini, harus mampu menjadi garda depan, menjadi penjaga kebhinekaan yang telah ditakdirkan menjadi potret bangsa Indonesia. Ditakdirkannya agama Islam sebagai mayoritas di Republik ini haruslah dipandang sebagai rahmatan lil ‘alamin.


*Penulis adalah advokat dan Dosen Luar Biasa pada Fak. Syariah UIN Malik Ibrahim Malang

Comments