Proses internalisasi agama di Nusantara merupakan peristiwa unik dari fenomena yang terjadi pada beberapa negara-negara di dunia. Peranan pemuka agama memberikan dampak yang penting dalam membangun sejarah (building history) antara hubungan penganut beragama. Latar belakang serta awal mula difusi agama-agama besar di dunia dapat menjadi sebuah rujukan bagi harmoni sosial dalam membina hubungan yang baik antar umat beragama. Fakta sejarah yang demikian dapat menjadi teladan yang penting bagi generasi selanjutnya.
Di Indonesia kita punya Walisongo atau Sembilan Wali yang termasuk bagian dari komponen da’i yang menyebarkan agama Islam ke negeri ini. Jaringan dakwah yang terdiri dari sembilan orang agamawan tersebut telah menorehkan sejarah emas dalam penyebaran Islam ke Nusantara. Pendekatan wisdom (bil al-hikmah) yang dimodifikasi dalam bingkai kultural telah membawa transformasi signifikan terhadap kepercayaan penduduk lokal. Walisongo dapat meng-Islamkan penduduk Jawa tanpa merusak kebudayaannya. Lebih lanjut, mereka dapat mendialogkan budaya dengan agama. Opsi demikian tentu menuai perdebatan yang panjang diantara mereka. Sebagai contoh Sunan Kudus dan Sunan Giri misalnya mengkritik tindakan Sunan Kalijaga yang membakar kemenyan saat kemangkatan Sunan Ampel.
Perdebatan di antara sembilan wali tidak serta merta karena keinginan untuk menonjolkan diri dengan memonopoli kebenaran. Rapat tahunan sebagai evaluasi misi Islamisasi yang mereka adakan pada akhirnya melahirkan sebuah konstruksi dialektika. Yakni berusaha meng-Islamkan penduduk Jawa dengan merubah kepercayaan mereka secara bijaksana. Meskipun demikian, penetrasi nilai-nilai agama senantiasa dilakukan sebagai pertimbangan dalam mempertahankan kebudayaan. Para wali mempunyai misi agar masayarakat Jawa bisa memilih tradisi yang sesuai atau tidak dengan ajaran agama.
Filosofi dakwah bil-al-hikmah Walisongo adalah (kenek iwake gak buthek banyune) atau mengambil ikan tanpa mengeruhkan airnya. Sebuah pegangan dalam kehidupan dakwah yang tanpa di barengi tindakan kekerasan atau pemaksaan sebagaimana yang sering kita saksisan saat ini. Walisongo dengan misi dakwahnya dapat bersaing secara sportif dengan pemuka-pemuka agama lain tanpa unsur kecurangan.
Lebih lanjut, diantara prestasi besar Walisongo dalam difusi Islam ke pulau Jawa pada khususnya dan Nusantara secara umum. Adalah melalui metode penetrasi nilai-nilai Islam secara bijakasana. Penyebaran Islam ke Indonesia pada umumnya dan ke pulau Jawa pada khusunya termasuk dalam kategori unik. Mayoritas Islamisasi di berbagai negara terjadi melalui peperangan yang panjang dan melelahkan. Bahkan hal ini juga terjadi di Arab Saudi yang menjadi sumber cahaya ajaran Islam.
Sebelum kedatangan Walisongo, proses Islamisasi di Nusantara pada awalnya merupakan sebuah dakwah bijaksana yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW ratusan tahun. Namun Islam tak kunjung juga diterima oleh masyarakat Arab yang masih menyembah berhala semasa itu. Mereka bersikukuh terhadap ajaran yang diwariskan oleh nenek moyangnya berupa penyembahan berhala. Namun keunikan berbeda terjadi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Berbeda dengan negara-negara muslim di seluruh dunia, proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia mengalir tanpa peperangan seperti yang terjadi termasuk kawasan timur-tengah.
Islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo tergolong bijak (ramah terhadap tradisi lokal) dan tidak menggunakan jalur peperangan atau kekerasan. Sehingga dakwah Walisongo menuai hasil yang gemilang dalam meng-Islamkan sebagian kawasan Nusantara. Walisongo memandang bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan opsi diplomasi lebih efektif. Pertimbangan tersebut didasarkan karena masyarakat Jawa pada masa itu masih kental dengan tradisi Hindu-Budha yang mengakar kuat.
Sebelum adanya para da’i (termasuk sembilan wali) yang datang ke Nusantara, Nabi Muhammad selama ratusan tahun sebelumnya telah membangun sebuah toleransi antar umat beragama. Beliau senantiasa berinteraksi sosial secara baik dengan orang yang berbeda agama. Sebagai tokoh pemuka agama, beliau tidak membeda-bedakan antara umat beragama dalam berbagai urusan dunia. Perintah tersebut diperjelas melalui wahyu Tuhan yang tidak melarang umatnya untuk membangun tatanan peradaban yang baik di muka bumi dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda.
Dengan meneladani sikap Nabi Saw. tersebut, Para Sembilan Wali menyadari bahwa dunia tidak mungkin dibangun oleh unsur-unsur yang sama, sebagaimana kapal nelayan tidak akan berjalan tanpa adanya onderdil atau komponen-kompenen yang heterogen. Gedung pencakar langit atau burj al-Khalifa di Dubai tidak akan berdiri kokoh jika hanya melibatkan insinyur dan mengeliminasi peran mandor-mandor atau kuli-kuli bangunan. Tatanan sosial memang menghendaki adanya sebuah perbedaan, baik bersifat diferensiasi atau stratifikasi sosial dalam membangun peradaban di muka bumi.
Toleransi yang dibangun sekadar untuk mencari sensasi atau kepentingan sesaat, hanya akan menghancurkan tatanan kehidupan harmoni yang dibangun oleh Walisongo. Membina toleransi harus didasarkan pada niat yang suci untuk menciptakan perdamaian di muka bumi. Falsafah demikian telah dianjurkan oleh para nabi, orang-orang suci dan bijak besatari yang sangat mengutamakan perdamaian dan kerukunan.
Konon, Sunan Bonang pernah menyesal ketika terjatuh dan mencabut sebatang rumput lantaran telah menghilangkan kehidupannya tanpa diperoleh manfaat. Dalai Lama pernah memberikan nasehat bahwa “agama saya adalah perdamaian”. Sementara Nabi Muhammad mewanti-wanti umatnya agar senatiasa menjadi manusia yang memberikan manfaat kepada sesama. Yakni seorang manusia yang menyelamatkan manusia (mahluk hidup) lain dari kejahatan tangan dan lisannya sendiri.
Disadari atau tidak, semua tindakan yang berlebihan hanya akan menyulut tindakan radikal dari para pemeluk agama lain yang merasa dilecehkan. Sebagaimana penggambaran karikatur nabi Muhammad beberapa tahun yang lalu. Ataupun tindakan represif pemerintah Tibet terhadap para Biksu di barat. Tindakan yang demikian hanya akan menyuburkan radikalisme, vandalisme dan fundamentalisme. Sebab umat beragama tidak akan membiarkan siapapun mengotori kesucian agamanya.
Belajar dari peristiwa di atas, fenomena radikalisme hanya bisa dihilangkan dengan cara-cara bijaksana sebagaimana yang diajarkan oleh Walisongo. Mereka tidak mengabil tindakan konfrontatif dengan orang-orang yang mempunyai kepercayaan yang berbeda. Tindakan yang senantiasa mereka lakukan adalah dengan berdialog (tabayun) guna menebar perdamaian di muka bumi.
Walisongo merupakan pemuka agama yang memberikan teladan berharga, mereka mempunyai pengetahuan yang luas, keimanan yang kuat. Namun tidak menutup diri untuk berinteraksi sosial dengan orang yang berbeda kepercayaan. Oleh karena itulah, Walisongo dicintai banyak orang dari berbagai latar belakang agama. Semoga generasi muda Indonesia, dapat mengambil teladan dari mereka.
Wallahu a’lam Bisshawab…
credit : bincangsyariah.com
Comments
Post a Comment