Pisau bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Baik hal positif atau negatif. Kalau pisau digunakan memotong sayuran untuk dimasak berarti pisau digunakan untuk hal positif. Tetapi jika pisau digunakan untuk menyakiti seseorang berarti pisau digunakan untuk hal negatif.
Namun, dari fleksibilitas fungsi pisau tersebut apakah yang salah adalah pisaunya? Tentu saja tidak. Pisau hanyalah alat. Apakah pisau akan digunakan untuk hal positif atau negatif itu tergantung orang yang memanfaatkannya. Kalau pisau digunakan untuk hal negatif maka orangnya yang salah.
Agaknya analogi fungsi pisau tersebut juga berlaku pada mata pelajaran pendidikan agama islam. Apakah pelajaran pendidikan agama Islam dimanfaatkan untuk menyebarkan eksklusifitas dan radikalisme itu tergantung gurunya.
Selanjutnya apakah yang disampaikan guru akan dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh murid itu tergantung muridnya. Murid punya keluarga dan hidup di sebuah masyarakat. Keluarga inilah yang menjadi banteng terakhir, jika pada akhirnya sekolah dan masyarakat tidak membuat murid menjadi orang yang lebih baik.
Keluarga yang di dalamnya ada orang tualah yang sebenarnya menjadi tumpuan utama pendidikan anak. Orang tua harus bisa menjadi semacam pengendali tali layang-layang. Jika tali layang-layang terlampau tinggi dan bisa berakibat putus tali harus segera ditarik dengan cara yang baik supaya tidak putus.
Perihal pembelajaran pendidikan agama islam di sekolah, memang tidak sedikit guru pengampu pelajaran pendidikan agama Islam yang berwawasan kurang luas. Lebih tepatnya kurangnya kemampuan untuk mengintegrasikan pelajaran agama dengan situasi, kondisi, peristiwa, kejadian yang ada di zaman termutakhir secara kontekstual.
Akhirnya pembelajaran agama hanya berkutat pada hafalan materi dan ritual. Hafalan materi berfungsi untuk ujian. Anak dimotivasi untuk melaksanakan ritual secara rajin karena asumsi umum yang berkembang di masyarakat adalah orang yang melaksanakan ritual agama secara rajin berarti agamanya bagus. Kasarannya untuk memenuhi standar sosial masyarakat.
Hal itu bisa dikatakan tidak buruk. Tetapi pemahaman akan substansi agama menjadi kurang mengena. Pengetahuan keagamaan dan ritual penting, tetapi juga harus memberikan output sosial yang baik bagi kehidupan. Pengetahun dan ritual adalah jalan. Output sosial adalah tujuannya. Keduanya (jalan dan tujuan) tidak bisa dipisahkan.
Pembelajaran agama yang berkutat pada pengetahuan dan ritual semacam itu tak sepenuhnya salah dari guru pendidikan agama islam. Guru pendidikan agama islam berhubungan dengan perkumpulan guru pendidikan agama islam. Atau yang biasa disebut MGMP PAI (Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam).
MGMP PAI berhubungan dengan pengawas, kementrian agama kabupaten, kanwil kemenang provinsi yang titik akhirnya adalah pemerintah pusat. Di luar itu, guru pendidikan agama Islam juga berhubungan dengan masyarakat di sekitarnya, dan organisasi seperti ormas keagamaan atau ormas apa pun (jika ikut).
Sepengalaman saya dalam MGMP PAI sangat jarang sekali, atau bahkan tidak pernah ada diskusi tentang kontekstualisasi pelajaran agama islam. Yang sering dibahas hanya masalah administrasi guru, kenaikan gaji bagi yang PNS (kalau pas ada kenaikan), kurikulum dan metode mengajar (yang seringkali tidak diikuti secara serius) dan tentang soal ujian.
Sebenarnya setiap berkumpul, yang dibahas tak terlalu berbeda dengan pembahasan sebelum sebelumnya. Hanya sedikit perubahan masalah teknis. Misalnya, dalam pembuatan soal, bagaimana sistematikanya. Kemudian syarat-syarat apa saja yang dikumpulkan untuk menaikkan jenjang karir. Hal remeh yang sebenarnya tak sulit untuk diselesaikan dalam taraf individu.
Padahal, sebenarnya yang lebih penting adalah membahas secara serius tentang berbagai hal yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diampunya. Tak perlu seperti seminar atau kuliah umum, cukup diskusi saja.
Misalnya dimulai dengan diskusi tentang peristiwa termutakhir, kemudian diintegrasikan dengan akhlak, sejarah, kitab suci. Secara dinamis tentunya, bukan secara kaku. Dari diskusi – diskusi semacam itulah akan muncul berbagai sudut pandang yang akan membuat wawasan guru menjadi semakin luas. Yang akhirnya bisa dijadikan bahan referensi dalam pembelajaran di kelas.
Lagi – lagi sangat jarangnya, atah bahkan tidak adanya diskusi semacam itu juga bukan sepenuhnya salah guru pendidikan agama Islam. Tuntuan dari pemerintah pusat memang tidak berkaitan dengan hal semacam itu.
Pembuat kurikulum nasional yang terejawantah dalam buku siswa dan buku guru memberikan materi dan langkah-langkah yang menuntut guru untuk menjalankan aktivitas pembelajaran yang seringkali secara eksekusi begitu–begitu saja.
Kalau evaluasi pendidikannya saja masih mengagungkan nilai akademik, pembelajaran macam apa yang lebih efektif dari hafalan materi dan latihan soal? Belum lagi tuntutan administrasi yang seabrek dan tak substantif.
Itu baru yang berhubungan dengan MGMP PAI, Kemenag Kabupaten, Kanwil Kemenag provinsi yang titik akhirnya pemerintah pusat. Belum lagi yang berhubungan dengan masyarakat dan organisasi yang diikuti (jika ikut).
Jika model masyarakat di mana guru tinggal dan organisasi yang diikuti (jika ikut) tipenya eksklusif dalam urusan agama, yang dipahami guru pun menjadi eksklusif. Apa yang didapatkan dari masyarakat dan organisasi tersebutlah yang biasanya akan disampaikan dalam kelas, setelah hal – hal baku berbentuk materi pembelajaran selesai disampaikan.
Apalagi jika murid hidup di lingkungan masyarakat yang eksusif dalam hal agama. Seperti gayung bersambut. Atau kalau dalam peribahasa jawa seperti tumbu ketemu tutup (kendi yang mendapatkan tutup). Cocok dan saling menguatkan.
Oleh karenanya, tuduhan pendidikan agama islam menjadikan siswanya menjadi eksklusif dalam beragama saya kira adalah tuduhan yang tidak tepat. Ada banyak factor salah satunya lingkungan masyarakat di mana guru atau murid tinggal.
Dalam hal ini, pemerintah yang menjadi koordinator utama guru – guru termasuk guru pendidikan agama islam harus bergerak. Bukan dengan cara menghapus mata pelajaran pendidikan agama islam. Tetapi harus selalu memperbaharui kurikulum secara lebih serius, supaya selalu kontekstual dengan keadaan zaman dan bisa menjadi solusi bagi masalah yang ada di zaman termutakhir.
Salah satu ejawantahnya berbentuk buku ajar yang menarik dan kontekstual. Selain itu, daripada menuntut guru dalam hal teknis tak tak substantif lebih baik memulai untuk mengajak guru berdiskusi supaya guru berwawasan luas, tidak berpikir sumbu pendek.
Yang tidak kalah penting lagi, pembangunan SDM di masyarakat. Jangan hanya bertumpu pada kerja, kerja, kerja atau perihal pemenuhan kebutuhan ekonomi saja. Tetapi juga pemahaman tentang hidup yang sesuai dengan nilai – nilai adiluhung yang dilestarikan di negeri ini. Sehingga bisa mengubah cara beragama yang eksklusif menjadi inklusif.
credit : geotimes.co.id
Comments
Post a Comment