KOMUJI Hadirkan Remaja yang Pernah Terpesona Propaganda ISIS, Ini Kata Tokoh Muda NU

Dua narasumber yang didatangkan dalam diskusi KOMUJI (Komunitas Musisi Mengaji) kemarin malam membuat kajian bulan ini terasa menarik dari kajian-kajian sebelumnya.
Mereka adalah Savic Ali dan Nur Dhania. Yang pertama tokoh muda NU penggiat literasi digital dan yang kedua seorang gadis yang sempat terpesona dengan ‘surga’ yang digambarkan dalam propaganda ISIS lewat media digital.
Dhania saat itu berusia 14 tahun, ia menghabiskan sebagian besar waktunya bermain media sosial dan tanpa sengaja melahap semua informasi tentang ISIS. Dhania akhirnya hijrah dan berhasil membujuk 26 anggota keluarga dan saudaranya untuk mengikuti langkahnya pergi ke negeri Suriah waktu itu.
Remaja itu mengaku tergoda dengan janji kehidupan utopis di Suriah, namun ia menolak jika dikatakan bahwa dirinya terpapar radikalisasi ISIS. Karenanya begitu ia bergabung dengan kekhilafahan dan menyadari tidak mendapati ‘surga’ yang dijanjikan di tanah jihad itu, Dhania merasa tertipu dan  menyesal telah mengajak keluarganya.
“Saat itu banyak akun-akun yang memaparkan tentang propaganda-propaganda ISIS dan sulit membedakan apakah itu benar apa tidak,” kata remaja yang saat ini berusia 17 tahun itu dalam Piknikustik bertema; Indonesia Tempatku Bersujud, di Medco Ampera, Jakarta Selatan, pada Rabu (28/08/19).
Lalu bagaimana kita dapat membedakan informasi yang benar dan salah di media sosial? Demikian salah satu pertanyaan dari seorang anggota diskusi malam itu.
Menurut Savic Ali, Direkur NU Online, fakta bahwa saat ini ada 12O juta pengguna internet di Indonesia, membuat media digital bagaikan lautan informasi yang sangat luas sebab semua orang bebas menuangkan pemikirannya di sana.
Maka dari itu, setiap orang harus membaca dari sumber bacaan yang berbeda sebelum menelan informasi yang telah ia dapat. “Beberapa ada yang airnya seperti bening tapi ternyata beracun. Maka dari itu, orang-orang yang mengerti perlu mengisi arus tersebut untuk menormalisasi aliran itu. Sementara kelompok garis keras, sudah lebih dulu telah membanjiri dunia digital dengan hal itu,” kata Savic.
Sayangnya maraknya fredom speech di media digital ini, di sisi lain seakan menormalisasi hate speech di kalangan penghuni dunia maya. Karena itu, Savic menganjurkan agar setiap orang tidak mudah memberikan stereotype kepada sesama. Identifikasi dari tindakan bukan dari penampilan. Selama tidak ada tindakan yang menunjukan bahwa dia agresif/radikal jangan sampai mengatakan orang tersebut islamnya tidak ramah.
“Kita tidak bisa mengatakan orang yang pakai cadar mereka tidak ramah berislamnya. Sebab beberapa mereka ada yang sangat ramah dan tidak takfiry. Begitu juga sebaliknya bukan berarti orang yang rambutnya mohawk islamnya tidak baik, beberapa ada yang sangat baik” jelas Savic.
Hal ini menurutnya, agar umat Islam tidak semakin terseret arus trend di media sosial yang seakan menormalisasi hate speech. “Saat membaca dari media-media sosial memang bebas berpendapat, tanpa sadar bertebaran ungkapan-ungkapan caci maki seakan keadaan itu menormalisasi hate speech di media sosial, karena terjadi hampir setiap hari seakan itu jadi normal,” paparnya.
Menurut Savic, freedom of speech itu boleh tapi bukan untuk menyampaikan hal-hal yang menggerus kemanusiaan. Karena itu, ia berharap perbedaan pendapat dan ideologi bisa disampaikan dengan argumen yang benar dan tanpa sentimen, tanpa obsesi pada kebenaran yang diklaim masing-masing kelompok. Sebab terobsesi terhadap kebenaran itu berbahaya.
The will to truth sama bahayanya dengan the will to power, obsesi pada kebenaran itu sama berbahayanya dengan obsesi terhadap kekuasaan,” ujar Savic mengutip perkataan sosiolog bernama Nietzsche.
Maka dari itu, lanjut Savic, dalam Al-Quran pun dikatakan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak bukan menyempurnakan kebenaran karena kebenaran hanya milik Allah.
“Akhlak ukuran tindakan baik, bukan ukuran orang paling benar. Tapi kita harus selalu berusaha mendekati kebenaran.” ucapnya.

Comments