Menghormati Simbol Agama Lain dalam Al-Qur’an

Media sosial sedang ramai membincang Ustadz Abdul Somad (UAS) yang berujar tentang salib, simbol agama yang dihormati oleh umat kristiani. Kelakar UAS tentang salib mendapatkan banyak respon dari banyak kalangan, ada yang pro dan kontra. Namun, belakangan muncul pula video klarifikasinya dari beliau.
Di salah satu tabligh akbar peringatan HUT Kemerdekaan RI, UAS mengatakan tiga alasan terkait videonya tersebut. Pertama, konteks video itu adalah menjawab pertanyaan bukan dibuat-buat untuk merusak hubungan antar agama. Kedua, pengajiannya di dalam Masjid tertutup, bukan di stadion maupun di televisi, untuk internal orang Islam menjelaskan tentang patung dan kedudukan Nabi Isa as. Ketiga, pengajiannya sudah lama, lebih dari tiga tahun yang lalu.
Pertanyaannya kemudian bagaimana al-Quran sebenarnya menyikapi perbedaan agama dan menghormati simbol agama lain? Kita bisa melihat jawabannya dalam Q.S al-An’am [6]: 108,
 وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُون
“Dan janganlah kalian menghina sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena boleh jadi mereka menghina Allah tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan bagi setiap umat anggapan baik terhadap pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Mengenai ayat di atas Syekh al-Maraghi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa al-Qur’an melarang umat muslim menghina sesembahan dan simbol agama lain dikarenakan hal tersebut adalah perbuatan sia-sia, tidak manfaat (jalb naf’) dan juga mencegah sesuatu yang tidak diinginkan (daf’ dharar). Oleh karenanya, segala bentuk penghinaan atau menyinggung agama lain di luar Islam tidak dibenarkan.
Menurut penulis, dalam konteks Indonesia sebagai negara yang majemuk yang menjungjung tinggi bhinneka tunggal ika, para pendakwah harus menghindari polemik dalam berdakwah. Selain kurang elok, juga dapat merenggangkan persahabatan antar saudara sesama anak bangsa.
Dialog Antara agama dan pertemuan-pertemuan sesama anak bangsa yang berbeda (Inter-Religious Dialogue) perlu dilakukan oleh para da’i dan ustadz, sehingga merasakan langsung bagaimana melihat agama lain dengan perspektif yang berbeda. Memahami agama lain dengan perspektif penganutnya lebih dibutuhkan dalam konteks Indonesia, dibandingkan dengan pandangan subyektif menurut agamanya sendiri.
Wallahu A’lam   

Comments