Melawan Takfirisme dengan Teologi Cinta

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq,
dan menuduhnya dengan kata kafir,
kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh,
jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan. [HR Bukhari]”
 Keberagaman dan perbedaan adalah suatu keniscayaan. Ia adalah sunnatullah. Bagi teologi cinta, perbedaan dan keberagaman adalah rahmat. Bagi teologi takfirisme perbedaan dan keberagaman adalah azab. Rahmat dan azab adalah dua hal yang kontradiksi. Yang pertama, mendamaikan, membuat manusia bahagia, dan selalu menyenangkan. Sementara yang kedua, menyusahkan, tidak ada ketenangan, dan jauh dari kata bahagia.
Mengapa takfirisme menjadi azab, sebab secara prinsip teologi ini menolak akan keberagaman dan perbedaan. Bagi golongan ini, merekalah yang paling benar dan paling selamat. Akibatnya mereka dengan mudahnya menghujat dan menghakimi pihak lain sebagai kafir, sesat, dan jauh dari kata kebenaran.
Gejala takfirisme yang hanya mengakui satu kebenaran, yakni kebenaran dirinya/golongannya adalah gejala global. Ia membuat resah semua. Pemahaman agama yang tektualis-skripturalis, kaku, kering, dikotomis, dan legal-formal adalah biang keroknya.
Memahami agama secara tektualis dengan mengabaikan konteks suatu ayat sangatlah berbahaya. Sebab, semangat ajaran agama kehilangan maknanya. Hal yang sama, memahami agama secara dikotomis, kalau bukan benar ya salah; kalau bukan islam, ya kafir, tentu tidak cocok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengapa teologi takfirisme berbahaya dan mesti harus ditolak dan ditinggalkan. Alasan utamanya adalah dalam teologi takfirisme kehilangan satu hal yang paling substansial-fundamental dari ajaran Islam itu sendiri. Apa itu? Cinta dan kasih sayang (rahmah).
Islam itu Rahmat, Bukan Azab
Rahmah adalah satu hal yang paling inti dalam Islam. Ia adalah kata koentji untuk memahami dan mempraktikkan Islam. Ragib al-Asfhani mendefinisikan rahmah itu sebagai kelembutan yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi (riqqah taqtadhi al-ihsan ila al-marhum).
Artinya dalam konsepsi teologi rahmah, ada dua hal syarat yang harus dilakukan: pertama, kelembutan (riqqah); kedua, kebaikan nyata (al-ihsan). Kedua syarat ini menunjukkan, bahwa berislam sama dengan membumikan cinta secara aktual.
Dengan rahmah, kita bisa membaur dengan siapun; dengan kelembutan,  kita diterima oleh semua orang, dan dengan kebaikan nyata, kita masuk ke dalam setiap lini kehidupan manusia. Rahmah adalah bahasa universal; yang selalu diterima dan diimpikan oleh setiap insan.
Teologi cinta adalah teologi yang mempercayai Allah sebagai Ilah, Rab, dan Malik lengkap dengan segala asma dan sifatnya berdasarkan cita kasih, bukan kebencian, kemarahan, kekuasaan, dan  pemaksaan.
Ketuhanan Yang Maha Rahman dan Rahim menunjukkan, bahwa tuhan yang dipercayai umat Islam bukanlah tuhan jahat. Dikit-dikit marah, dikit-dikit demo, dan dikit-dikit baikot. Tetapi tuhan yang mengasihi dan memberikan anugerah kepada semua makhluk-Nya.
Konsepsi teologi cinta ini bisa dijadikan sebagai basis untuk melawan dan menolak teologi takfirisme. Dalam ilmu mantik (logika) ada  metode musakalah, yakni kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, sebab akan patah.
Kekerasan hanya bisa dijinakkan dengan kelembutan. Dalam konteks ini, takfirisme tidak bisa dilawan dengan teologi yang keras atau kita balik mengkafirkan mereka. Itu hanya gerakan sia-sia. Cara jitu tidak lain adalah dengan teologi cinta, yang selalu mengajarkan kelembutan dan kasih sayang.
Dalam konteks inilah, semua pihak perlu membumikan dan mengampanyekan teologi cinta ini. Kita harus menyuarakan, bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Tuhan Maha Rahman dan Rahim. Nabi diutus tidak lain kecuali sebagai rahmat. Ajaran Islam yang termaktub dalam kitab suci penuh dengan rahmat.
Untuk itu kerja-kerja kolektif dari semua pihak, masyarakat, ormas moderat, dan pemerintah harus sekuat tenaga melawan dan memperlihatkan bahaya takfirisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Takfirisme sejatinya bukanlah ajaran Islam, ia harus ditolak hingga tidak merusak generasi ummat.
credit : jalandamai.org

Comments