Menangkal Virus Takfiri dengan Literasi Keagamaan

Kelindan antara kepentingan pragmatisme politik dengan agama yang marak terjadi belakangan ini telah melahirkan sejumlah problem sosial. Salah satu yang paling terasa dampaknya ialah masifnya reproduksi ideologi takfirisme di tengah masyarakat. Fenomena ini bisa dengan mudah kita temui, terutama dalam konteks relasi sosial yang terjadi di dunia maya. Begitu mudah satu pihak menyebut pihak lain sebagai sesat, atau kafir hanya karena perbedaan preferensi politik yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan agama.
Gejala masifnya reproduksi takfirisme ini sedikit banyak telah menggoyahkan sendi-sendi kebangsaan kita. Di masa lalu, bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah dan beradab tinggi. Masyarakatnya memegang teguh nilai-nilai keadaban yang diwariskan oleh tradisi ketimuran. Namun, kini semua itu seolah telah menjadi bagian dari masa lalu. Relasi sosial-keagamaan hari-hari belakangan ini lebih banyak diwarnai sikap saling curiga, saling menyalahkan dan nyaris tidak lagi mengenal sikap saling menghormati.
Di tengah kepungan masifnya takfirisme yang bersilang sengkarut dengan derasnya berita palsu (hoax), kita membutuhkan sebuah cara pandang baru dalam mempraktikkan ajaran agama di ruang publik. Dalam konteks inilah gagasan literasi keagamaan menjadi urgen dan vital. Secara sederhana, literasi keagamaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan manusia dalam memahami relasi antara praktik keagamaan dengan realitas sosial, politik dan budaya yang berkembang di zamannya dari beragam perspektif atawa sudut pandang.
Ini artinya, literasi keagamaan menuntut manusia tidak hanya paham agama dari aspek ajaran, doktrin atau ritual semata. Lebih dari itu, literasi keagamaan menuntut kita memiliki pemahaman yang komprehensif ihwal historisitas sebuah agama serta keterkaitannya dengan agama lain. Seseorang yang memiliki literasi keagamaan yang mumpuni akan memiliki pengetahuan yang mendalam dan komprehensif tidak hanya terkait historisitas agama yang dianutnya, namun juga agama-agama lain.
Literasi keagamaan ini menjadi penting terutama di tengah kondisi keberagamaan yang pluralistik atau heterogen. Seperti kita tahu, perbedaan agama dan keyakinan kerapkali melatari munculnya sejumlah gesekan sosial yang tidak jarang berakhir pada pecahnya konflik. Ironisnya, konflik yang dilatari isu perbedaan agama tidak hanya terjadi antaragama yang berbeda, melainkan juga antarsesama agama. Potensi konflik itu setidaknya bisa ditekan ke angka yang paling minimal jika masing-masing pemeluk agama memiliki literasi keagamaan yang mumpuni.
Gelombang Islamisasi
Jika kita melihat konteks Indonesia kekinian, harus diakui bahwa terjadi semacam peningkatan relijiusitas di tengah masyarakat, terutama di kalangan muslim. Pasca Reformasi, kita melihat sendiri bagaimana gelombang islamisasi bangkit dan mendominasi hampir semua perbincangan dalam ruang publik kita. Tidak hanya di ranah politik, islamisasi juga merambah ke ranah ekonomi, sosial dan budaya.
Gejala islamisasi yang paling mudah kita identifikasi ialah maraknya ekspresi kesalehan muslim di ruang publik yang direpresentasikan ke dalam masifnya eksploitasi simbol Islam. Misalnya pemakaian jilbab, baju muslim dan sejenisnya. Namun, harus diakui, meningkatnya relijiusitas individual kelompok muslim ini tidak lantas berbanding lurus dengan meningkatnya literasi keagamaan. Sebaliknya, meningkatnya relijiusitas kaum muslim Indonesia justru berbanding terbalik dengan pemahaman terkiat literasi keagamaan.
Lemahnya literasi keagamaan di kalangan muslim ini dilatari oleh sejumlah faktor. Salah satu yang paling berpengaruh ialah keengganan sebagian muslim untuk mempelajari Islam dari sumber primer atau dari pihak yang benar-benar otoritatif. Sebagian besar muslim lebih senang mempelajari ilmu agama dari artikel-artikel keislaman populer yang tersebar di dunia maya atau melalui video rekaman ceramah dari para ustaz terkenal yang banyak beredar di media sosial.
Mudahnya masyarakat mengakses informasi dari internet dalam banyak hal telah mengubah pola dan cara umat muslim dalam mendalami ilmu agama. Di masa lalu, belajar Islam hanya bisa dilakukan melalui pendidikan formal, baik itu sekolah keislaman atau pesantren. Di institusi formal tersebut, Islam dipelajari dengan sistematis dan komprehensif. Pengetahuan keislaman yang didapat pun cenderung utuh dan luas.
Di masa kini, sebagian besar muslim lebih senang belajar Islam melalui internet dan media sosial. Padahal, pengetahuan keislaman yang tersebar di internet acapkali tidak bisa diverifikasi kebenarannya, bahkan tidak jarang sarat muatan kepentingan politis. Alhasil, pengetahuan keislaman yang didapat pun cenderung tidah utuh, sepotong-sepotong dan lebih bernuansa ideologistik ketimbang spiritualistik.
Konsekuensi dari kondisi itu dapat kita lihat dari betapa menguatnya konservatisme di kalangan muslim. Corak keberagamaan kaum muslim di Indonesia selama dua dekade terakhir ini berkembang ke arah konservatif bahkan menjurus radikal. Sebagian besar umat muslim Indonesia menjadi lebih eksklusif dan fanatik dalam menjalankan keislamannya. Hal ini pun berdampak langsung pada merenggangnya ikatan kebangsaan yang selama ini terbangun.
Peran Ormas Islam NU dan Muhammadiyah
Oleh karena itu, untuk mencegah kondisi keberagamaan itu kian parah, diperlukan langkah mitigatif untuk mengatasinya. Mengembangkan literasi kebergamaan terutama di kalangan muslim adalah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pengembangan literasi keagamaan di tengah publik akan mendorong para pemeluk agama untuk memahami ajaran agamanya secara sosiologis, bukan semata taken for granted.
Lantas bagaimana mengembangkan literasi keagamaan di tengah menguatnya konservatisme dan takfirisme belakangan ini? Tidak ada jalan lain selain mengisi kanal-kanal informasi di internet dan media sosial dengan konten-konten keislaman yang mencerahkan. Selama ini, kanal informasi keislaman di dunia maya lebih banyak dikuasai oleh situs-situs Islam garis keras. Situs-situs tersebut, berisi pengetahuan Islam yang ideologis-politis dan acapkali cenderung provokatif. Ironisnya, situs-situs itulah yang selama ini dikonsumsi oleh sebagian muslim, utamanya kalangan menengah-urban.
Begitu pula dengan video-video ceramah keagamaan yang beredar di media sosial. Nyaris semuanya merupakan ceramah keagamaan dari ustaz-ustaz yang berpandangan konservatif-radikal. Kajian-kajian keislaman berbau sentimen ideologis dari sejumlah ustaz berpandangan konservatif itulah yang saban hari lalu lalang di lini masa media sosial.
Pada saat yang sama kajian-kajian keislaman yang dilakukan oleh ormas keislaman seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah cenderung tidak mampu menginfiltrasi ranah dunia maya. Kajian keislaman yang mereka lakukan acapkali hanya menyentuh lingkungan mereka sendiri dan terkesan elitis. Maka menjadi wajar jika nyaris tidak ada ustaz dari kalangan NU dan Muhammadiyah yang memiliki popularitas di dunia maya melebihi ustaz-ustaz salafi yang berpandangan radikal.
Oleh karena itulah, tidak ada alasan bagi ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah untuk diam dan pasif melihat fenomena ini. NU dan Muhammadiyah harus “turun gunung”, menyelematkan umat muslim Indonesia dari infiltrasi pemikiran Islam konservatif-radikal. NU dan Muhammadiyah harus merebut kembali otoritas keagamaan yang selama ini dikendalikan oleh kelompok konservatif.
Caranya ialah dengan mengembangkan literasi keagamaan melalui internet dan media sosial. NU dan Muhammadiyah perlu membangun satu kanal informasi keislaman yang menarik dan mudah diakses oleh masyarakat awam, tentu dengan konten dan gaya bahasa yang mudah dicerna. Para ahli agama dari kalangan NU dan Muhammadiyah yang selama ini lebih banyak berkiprah di pesantren, sekolah atau perguruan tinggi harus mau masuk ke dalam arena “pertempuran” baru, yakni di ranah internet dan media sosial.
NU dan Muhammadiyah memang sudah memulai hal itu sejak beberapa tahun terakhir. Situs keislaman yang dikelola oleh NU dan Muhammadiyah perlahan mulai sejajar dengan popularitas situs-situs Islam radikal. Begitu pula video ceramah para ulama NU atau intelektual Muhammdiyah juga mulai dengan mudah bisa ditemukan di media sosial. Hal ini tentu patut diapresiasi. Namun demikian, kita tentu berharap kedua ormas itu tidak lekas puas dan terus mengoptimalkan gerakan literasi keagamaan, terutama untuk mencegah berkembangnya reproduksi takfirisme.
credit : jalandamai.org

Comments