Reinterpretasi Istilah Kafir dalam Konteks “Nation State”

Ustaz Abdul Somad seolah tidak pernah rehat memantik kontroversi publik. Belum sepenuhnya reda polemik publik yang ditimbulkan dari pernyataannya ihwal Salib, kini videonya ceramahnya kembali menuai perdebatan. Dalam rekaman video yang beredar di media sosial, ia menyebut bahwa penonton drama Korea tergolong sebagai orang kafir.
Sontak pernyataan ini pun menuai respon beragam dari masyarakat. Di kalangan pengikutnya, pernyataan itu tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran final. Namun, tidak sedikit pula khalayak yang menganggap pernyataan itu berlebihan, bahkan menyesatkan. Menarik untuk membincangkan lebih lanjut bagaimana terminologi kafir dan mukmin dipahami dalam konteks kekinian, ketika dunia Islam memasuki era modern dan bersentuhan dengan berbagai kebudayaan global.
Dalam tradisi hukum Islam (fiqh) dikenal setidaknya tiga kategori untuk mengklasifikasikan status seseorang. Pertama, mukmin yakni kelompok yang memercayai konsep ketauhidan Islam dan meyakini kerasulan Nabi Muhammad. Kedua, Ahlul Kitab, yakni kelompok penganut agama Nasrani atau Kristen dan Yahudi yang notabene merupakan dua agama dalam rumpun agama Ibrahim (Abrahamic religion). Istilah Ahlul Kitab ini bahkan dipakai di dalam al Quran. Terakhir adalah kafir yang merujuk pada kelompok yang menyangkal atau tidak mengakui konsep ketauhidan Islam dan kerasulan Muhammad.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika komunitas Islam tumbuh menjadi kekuatan politik dan berhasil membangun imperium, istilah kafir mengalami perluasan kategori. Hukum Islam klasik membagi golongan kafir ke dalam dua macam, yakni dzimmi dan harbi.
Kafir dzimmi merujuk pada golongan kaum kafir yang tidak memusuhi dan memerangi Islam. Kepada mereka diberikan hak dan perlindungan sebagai warganegara di wilayah muslim dengan kewajiban membayar pajak (jizyah). Sedangkan kafir harbi merujuk pada golongan kafir yang memusuhi Islam. Dalam tradisi hukum Islam klasik, golongan ini diperkenankan untuk diperangi atau dihalalkan darahnya.
Namun, ketika imperium Islam berakhir dengan runtuhnya dinasti Ottoman di Turki, klasifikasi kafir dzimmi dan harbi tersebut tidak lagi relevan dengan situasi sosial-politik di dunia Islam. Pascar runtuhnya dinasti Ottoman, dunia Islam terpecah ke dalam wilayah-wilayah kecil dan mengadopsi bentuk negara bangsa (nation state). Beberapa di antaranya bahkan menerapkan demokrasi sebagai sistem politiknya dan menjadikan hukum modern ala Barat sebagai landasan konstitusinya.
Dalam konteks negara bangsa, dimana warganegara semua memiliki kedudukan sejajar di mata hukum, istilah kafir dzimmi dan harbi tentu tidak lagi bisa dipakai. Semua warganegara memiliki hak dan tanggung jawab yang sama terlepas dari latar belakang agamanya. Negara sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang hukum wajib melindungi hak asasi semua warganya tanpa terkecuali.
Konsep negara bangsa dengan sistem demokrasi itu pula yang diterapkan di Indonesia. Meski memiliki penduduk mayoritas muslim dan bersentuhan dengan Islam sejak era pra-kolonial, ketika merdeka Indonesia mengambil bentuk sebagai negara bangsa berbasis sistem demokrasi Pancasila. Lazimnya dalam sebuah negara bangsa, kedudukan setiap warganegara pun setara di mata hukum, terlepas dari identitas kesukuan dan keagamaan.
Maka, secara konstitusional istilah mukmin dan kafir sebenarnya sudah tidak dikenal di Indonesia. Terminologi yang paling tepat ialah semua kelompok agama yang diakui oleh Undang-undang disebut sebagai warganegara. Oleh karena itu, pemakaian istilah kafir dalam konteks relasi dan komunikasi antarwarganegara justru cenderung berkonotasi negatif dan provokatif.
Meski demikian, pada kenyataannya istilah kafir tetap menjadi istilah yang paling sering diucapkan, terutama oleh kalangan muslim untuk menyebut golongan non-muslim. Sulit sekali rasanya bagi sebagian muslim untuk menyebut mereka yang tidak beragama Islam dengan sebutan yang sesuai dengan identitas keagamaannya, seperti Kristen, Hindu, Budha dan lain sebagainya. Sebagian muslim, utamanya kalangan konservatif merasa harus menegaskan perbedaan dan superioritasnya dengan melabeli penganut agama lain sebagai “kafir”.
Lebih parah lagi, sebutan kafir belakangan ini tidak hanya dialamatkan pada golongan di luar Islam, namun juga menyasar kelompok yang berbeda dengan pandangan arusutama. Hanya karena alasan sepele, seperti perbedaan afiliasi politik, seseorang kini dengan mudah melabeli orang lain sebagai kafir. Pernyataan UAS yang menyebut penonton drama Korea sebagai kafir adalah satu kasus dari fenomena gunung es perilaku “takfiri” (gemar mengkafirkan orang lain).
Mengembangkan Tafsir Progresif
Ideologi takfiri jelas berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara, lantaran Indonesia terdiri atas entitas kebergamaan dan kesukuan yang pluralistik. Pola relasi keberagamaan yang diwarnai dengan istilah kafir, bidah, sesat dan sejenisnya potensial menabalkan garis perbedaan antarkelompok penganut agama-agama. Apalagi jika, pelabelan itu hanya dilatari oleh persoalan sepele seperti kegemaran menonton drama Korea.
Istilah mukmin dan kafir dalam konteks negara bangsa seperti Indonesia memang harus ditafsirkan ulang, tidak semata merujuk pada aturan dalam hukum Islam klasik. Para intelektual muslim progresif sebenarnya sudah menginisiasi hal ini sejak lama. Asghar Ali  Engineer, intelektual muslim asal India dalam buku fenomenalnya Islam and Liberation Theology misal, menghadirkan tafsir mukmin dan kafir yang terbilang progresif.
Menurut Engineer, dalam konsep negara bangsa, terminologi kafir idealnya tidak dipahami dalam kerangka teologis semata, namun juga sosiologis dan politis. Ini artinya, makna kafir tidak selalu merujuk pada golongan yang tidak percaya atau menyangkal akan konsep ketauhidan dan kerasulan dalam Islam.
Dalam tafsiran Engineer, istilah kafir dalam konteks dunia Islam modern idealnya tidak melulu dipahami sebagai golongan yang menyangkal keimanan Islam. Lebih dari itu, makna kafir seharusnya dirujukkan pada golongan yang lalim, arogan, tidak berpihak pada keadilan dan gemar bertindak sewenang-wenang. Golongan yang tidak mematuhi aturan hukum yang berlaku dan abai pada keadilan sosial inilah yang justru lebih pantas disebut kafir dalam kehidupan modern.
Penafsiran Engineer memang bukan menjadi pemikiran yang mengarusutama dalam masyarakat Islam sekarang. Namun demikian, model penafsirannya yang berkarakter progresif perlu diadaptasi ke dalam konteks keberagamaan di Indonesia. Kita patut resah dengan kondisi keberagamaan kita saat ini. Sulit rasanya membayangkan lahirnya pola pikir dan perilaku  keberagamaan yang moderat jika para tokoh agama gemar melabeli kelompok yang tidak sepandangan dengan dirinya sebagai kafir, bidah, sesat dan sebagainya.
Sebagai penceramah agama idealnya dia memiliki daya sensitifitas yang tinggi terhadap perbedaan kultur dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Ia juga seharusnya tidak terburu-buru menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi sebuah fenomena kultural semacam budaya menonton drama Korea di kalangan masyarakat Indonesia dan fenomena-fenomena serupa. Sebagai sosok yang diidolakan banyak orang, ia seharusnya mampu berpikir lebih komprehensif dan tidak menilai semua hal melalui kacamata hitam-putih, baik-buruk, dan mukmin-kafir.
credit : jalandamai.org

Comments