Tinggalkan ‘Takfiri’, Kedepankan ‘Tafkiri’

Takfiri (تكفيري) dan tafkiri (تفكيري) adalah dua kata yang mirip, tetapi mempunyai makna yang sangat berbeda. Kata yang pertama berkonotasi negatif, yakni mengkafirkan, menyesatkan, dan menganggap orang atau pihak lain salah. Sementara kata yang kedua berkonotasi positif, yakni mengkritisi, bernalar yang tajam, dan mencari celah kekurangan, atau menutupi kelemahan suatu konsep atau gagasan.
Takfirisme sebagai sikap dalam beragama sangatlah berbahaya. Sebab ia akan menimbulkan perilaku intoleransi, penegasian terhadap yang lain, bahkan berujung pada tindakan radikalisme-terorisme. Takfirisme muncul akibat dari pemahaman agama yang sempit, kaku, dan tektualis.
Takfirisme secara historis bermula dari paham Khawarij, suatu sekte politik yang tidak puas dengan Ali bin Abi Thalib maupun Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi, dalam perjalanannya, golongan ini masuk ke dalam persoalan teologi. Yang menganggap sesat, kafir, masuk neraka, pihak yang tidak sepaham dengan mereka.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, teologi ini tentu sangat membahayakan. Sebab akan memberangus setiap perbedaan dan keberagaman. Adalah suatu fakta, baik secara historis maupun sosiolgis-antroplogis, Indonesia adalah bumi yang penuh dengan keberagaman, baik itu agama, keyakinan, budaya, bahasa, adat istiadat, dan tradisi yang hidup.
Bahaya Takfirisme (تكفيري)
Letak bahaya takfirisme adalah ideologi yang diusungnya, yang secara inheren tidak mengakui akan pluralitas kebenaran. Bagi mereka kebenaran itu hanya satu, yakni kebenaran golongan mereka. Sementara golongan lain adalah pasti salah. Akibatnya penghakiman dan justifikasi sesat, kurang islami, bid’ah, dam masuk neraka, adalah kebiasaan golongan ini.
Akibat hanya mengakui satu kebenaran, maka dengan sendirinya mereka akan menegasikan sesuatu yang berbeda dengan mereka. Sayyid Muhammad Alawy al- Maliki mengatakan, bagi umat Islam perbedaan itu adalah rahmat (ikktilaf ummati rahmah), akan tetapi bagi kelompok takfirisme perbedaan umat  adalah azab (ikhtilaf ummat azab).
Paradigma bahwa perbedaan adalah azab, dalam level masyarakat –apalagi dalam konteks negara –akan menimbulkan konflik horizontal sesama anak bangsa. Sikap menolak dan menjustifikasi kelompok lain adalah sesat sangat rawan terhadap terjadinya konflik. Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan, bahwa konflik internal-horizontal sesama umat Islam terjadi sebab adanya sikap saling menyalahkan. Pihak yang dituduh sesat tidak terima, akan balik melawan –paling minim menyalahkan pihak yang menuduh dia.
Banyaknya kasus pengusiran ustad dari Mesjid, pembubaran pengajian, pemboikotan tokoh agama kelompok tertentu, dan pelarangan tablig untuk penceramah agama tertentu, semuanya berawal dari sikap menyalahkan dan mengafir-sesatkan tadi. Sikap saling menghargai, menjaga kebhinekaan, dan mempererat tali persaudaraan akan menjadi mahal.
Dalam hal ini, kita perlu meninggalkan teologi takfirisme. Teologi yang bikin masalah, konflik, dan polarisasi masyarakat. Kini saatnya kita kembali ke ajaran Islam paling substansial, yakni ajaran yang saling mengasihi. Kita saat kita kembali merujuk kepada prinsip fundamental Islam, bahwa perbedaan dan keberagaman itu adalah rahmat yang harus kita jaga dan kita nikmati.
Menuju Sikip Kritis (تفكيري)
Salah satu cara merawat keberagaman itu adalah dengan menumbuhkan sikap kritisimse. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sikap yang perlu dikedepankan adalah sikap kritisisme (تفكيري), bukan takfirisme. Dengan sikap kritislah, manusia bisa membangun peradaban yang penuh dengan kedamaian, kebahagiaan, kesejahteraan. Kritisisme membuat seseorang bernalar secara tepat dan tidak mudah terpengaruh dengan paham-paham yang anti terhadap perdamaian.
Dengan sikap kiritisisme (tafkiri), diharapkan anak bangsa akan tumbuh menjadi insan-insan yang kritisis; yang tidak mudah dipengaruhi oleh paham radikal; bisa menimbang mana mafsadat, mana madarat; mana yang bisa membuat damai, mana yang mengakibatkan kekacauan.
Ahmad Syafii Maarif mengajukan trilogi kehidupan bagi anak bangsa, yakni kemanusiaan, keindonesiaan, dan kebhinekaan. Ketiga nilai ini bisa dijadikan oleh anak bangsa sebagai standar untuk mengkritisi sesuatu, termasuk soal paham keagamaan. Jika ada suatu paham, gagasan, aksi, entah apapun namanya, tetapi bertolak-belakang dengan ketiga nilai ini harus dikritisi dan ditolak
Sikap kritisisme adalah tameng anak-anak bangsa dari serangan paham-paham anti-kebhinekaan. Sikap yang tidak mudah menerima begitu saja, melainkan perlu data dan fakta. Perlu penalaran kuat untuk bisa menerima sesuatu. .  Dengan begitu, Indonesia akan aman dari infilterisasi teologi takfirisme yang berbahaya itu.
credit : jalandamai.org

Comments