Ibarat racun, hoaks sudah merajalela dan dibutuhkan vaksin untuk menyembuhkannya
Media Sosial adalah diri kita saat ini dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan kita sehar-hari. Bahkan, sebuah kata yang tersebar di media sosial dengan sangat mudah dipakai dan tersebar di kehidupan bermasyarakat. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Segala perbincangan di media sosial baik di kolom status atau komentar, bisa melibatkan satu atau banyak orang. Karena, pola komunikasi di media sosial memang berbeda dengan pola di masyarakat dunia nyata. Misalnya, di dunia nyata sebuah pemandangan aneh jika ada orang yang berbicara sendiri tanpa ada lawan bicaranya, sedangkan di media sosial semua orang tidak menjadi permasalahan jika ada orang mengupdate status tanpa ada orang yang menghiraukannya.
Dalam pola komunikasi di media sosial ada dikenal dua diksi yang dangat dikenal. Yaitu, hoaks dan viral. Hoaks adalah kabar bohong. Sedangkan, viral adalah perbincangan yang paling banyak diakses oleh mayoritas warganet. Dari dua diksi ini sebenarnya kita belajar bahwa tradisi lisan di media sosial juga turut berubah pasca kehadiran media sosial.
Hoaks dalam tradisi lisan sebenarnya bukan barang baru, sebab cerita bohong banyak ditemukan di kehidupan kita. Walau, berbohong adalah perbuatan yang tidak baik, namun dia bagian dari kehidupan alami manusia. Melihat kebohongan dalam kehidupan manusia tidak bisa dikategori keburukan belaka, ada banyak hal yang bisa berkelindan dalam sebuah kebohongan.
Jadi, jika kita menyamankan hoaks dengan kebohongan mungkin sekali kita akan terjebak dalam kesalahpahaman.
Hoaks tidak hanya sebuah kabar bohong belaka, namun kelindan kekuasaan, keterjangkauan, kerumitan data dan bahasa hingga kebanjiran informasi membuat pemahaman pada hoaks tidaklah tunggal. Tidak ada manusia di dunia ini yang suka pada kebohongan, tapi mengapa hoaks tetap beredar jika dia tidak disukai karena bagian dari kebohongan.
Oleh sebab itu, dalam memerangi hoaks tidak mungkin akan selesai, atau mungkin saja tidak akan pernah selesai, tanpa memiliki pemahaman yang berlapis atas hoaks.
Jika ditelisik secara konten, maka hoax yang berkelindan pada politik dan agama adalah konten paling cepat tersebar dan dipercaya banyak orang, terutama di Indonesia. Apakah keberagamaan masyarakat Indonesia yang begitu kental tidak mampu menghentikan persebaran hoaks bernada agama yang cukup massif di media sosial?
Sampai sekarang, banyak usaha di hampir semua pihak di semua agama mengklaim bahwa pihaknya adalah kelompok paling gencar melawan hoaks. Sedangkan data persebaran hoaks masih saja tinggi, ini kontra dengan klaim tersebut.Jadi, mungkin saja ketidakmampuan ini disebabkan kemampuan menganalisa dari sekian informasi yang membanjir dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Beberapa pakar menyebutkan tingkat literasi kita yang rendah adalah faktor paling berpengaruh, dengan tinggi persebaran hoax di masyarakat. Tapi, fakta tersebut terbantahkan dengan tingginya angka kalangan intelektual yang terpapar berita bohong atau hoaks.
Jadi, Islam menawarkan tabayyun saat berhadapan dengan sebuah kabar berita, tapi penekanan dari proses ini adalah kehati-hatian adalah hal paling dikedepankan pertama kali sebelum proses tabayyun.
Tanpa kehati-hatian, proses tabayyun juga bisa saja terjebak atau tersilap dalam menelisik kabar yang memiliki proximity (kedekatan) dengan kelompok yang disasar dari kabar tersebut. Jadi, jangan sampai emosi yang diaduk oleh kabar bohong tersebut, memumpulkan sikap kehati-hatian siapapun.
Selain hoaks, ada diksi viral yang mengubah pola komunikasi warganet hingga di kehidupan sehari-hari. Contoh paling dekat adalah ada beberapa kata yang diciptakan atau awalnya hanya ada di media sosial atau internet, sekarang malah menjadi serapan yang lazim ada di keseharian.
Viral sendiri adalah diksi yang sebelum media sosial atau internet muncul belum menjadi warna pola komunikasi manusia. Sekarang, viral malah menjadi acuan atau ukuran aksepbilitas sebuah perbincangan di kehidupan manusia.
Padahal, viral hanya sebuah kerja algoritma yang dengan sulapnya bisa mengkalkulasi perbincangan yang memiliki respon tertinggi. Konsep viral tidak mampu menghitung emosi, dinamika hingga kecurangan dalam sebuah perbincangan di media sosial.
Kehidupan manusia saat tidak mengenal istilah viral, perbincangan sehari-hari hanya tersimpan dalam memori manusia yang disebut bisa menyimpan banyak hal dalam satu waktu. Namun, tidak semua perbincangan bisa diingat dengan jelas dan tepat apalagi dihitung dengan memori orang lain. Banyak hal yang berkelindan dalam memori manusia yang menyimpan perbincangan, ada emosi, narasi, pengalaman hingga kemampuan atau kecepatan mengingat bisa mempengaruhi ingatan akan sebuah perbincangan.
Jadi tradisi bertutur dalam kehidupan sehari-hari kita sedikit banyak telah saling mempengaruhi dan bernegosiasi dengan kultur media sosial. Memang keterjangkauan dan kecepatan yang dimiliki oleh media sosial dianggap memiliki dampak yang juga berlipat, maka ada baiknya semua kita mulai mencoba belajar dan merumuskan kearifan dalam bertutur di media sosial.Yang mana, modal yang harus dimiliki adalah kemampuan beradaptasi dan mempelajari kultur digital dengan sangat cepat, karena perubahan dalam kultur tersebut juga sangat cepat.
Memasukkan dalil dalam menghadapi keriuhan di media sosial, jangan sampai hanya merumuskan hal-hal tersebut malah menjadi sangat normatif. Sebab, penyebaran hoaks di media sosial akan terus ada, karena kebohongan tidak mungkin hilang.
Jadi, kemampuan menghadapi hoaks yang harus terus berkembang, juga jangan sampai terlalu memaksakan pendekatan hukum. Sebab, hoaks hanya sebagian dari kultur baru dari kehidupan manusia digital sekarang ini, termasuk viral. Dan, tradisi di lisan kita sudah sepatutnya bisa jadi vaksin dalam upaya mencegah hoaks yang kian merajalela.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin
credit : islami.co
Comments
Post a Comment